BAB VII
SEKOLAH MENENGAH KOMPREHENSIF
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari uraian materi pada bab ini, maka mahasiswa diharapkan dapat:
1. Memahami konsep dasar sekolah menengah komprehensif
2. Merumuskan karakteristik pembelajaran sekolah menengah komprehensif
3. Mengidentifikasi strategi pembelajaran komprehensif
4. Mengidentifikasi implikasi masalah sekolah menengah komprehensif
B. Pendahuluan
Pendidikan tradisional yaitu penyelenggaraan pendidikan di nusantara yang dipengaruhi oleh agama-agama besar di dunia, yaitu Hindu, Budha,Islam, dan Nasrani (Katolik dan Protestan). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sekolah menengah tradisional dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman yang semakin modern, hal ini dapat dilihat pada sekolah yang ada sekarang ini, alat-alat pendidikan yang digunakan sudah berkembang dan maju misalnya dengan internet sehingga banyak siswa yang salah menggunakannya misalnya mengakses gambar-gambar porno.
Penerapan atau pelaksanaan sekolah menengah di Indonesia baik sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas sudah cukup maju seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sudah berkembang di Indonesia. Dan kurikulum sekolah yang terus mengalami peningkatan sesuai dengan lingkungan sekolah tersebut dan juga penggunaan sarana dan prasarana yang ada di sekolah-sekolah sekarang ini seperti misalnya penggunaan media pembelajaran atau penggunaan komputer yang sudah dilengkapi dengan internet serta guru yang profesional di bidangnya.
C. Uraian Materi
1. Tendensi dan Asumsi Penyelenggaraan Sekolah Menengah
Komprehensif
Sebagai salah satu jenis pendidikan menengah, sekolah menengah kejuruan (SMK) seolah tidak pernah berhenti dipermasalahkan. Jika pada masa awal “kelas dua”. Lulusan SLTP yang masuk ke SMK pada umumnya bukan mereka yang tergolong tinggi kemampuan dasarnya. Data menunjukkan sekitar 60% lulusan SMU tidak melanjutkan, dan yang mengejutkan mereka sengaja memilih SMU walaupun setelah lulus akan mencari pekerjaan (FMIPA IPB, 1998). Artinya lulusan SLTP “belum”menganggap bahwa persiapan memasuki dunia kerja, SMK lebih cocok dibanding SMU.
Akhir-akhir ini ada berita bahwa pada tahun pelajaran 1999 dan 2000 jumlah pendaftar ke SMK naik cukup signifikan. Namun setelah dilacak lebih jauh, ternyata secara proporsional kenaikan tersebut belum banyak berati, karena pada saat yang bersamaan jumlah pendaftar ke SMU juga meningkat. Jadi peningkatan tersebut bukan disebabkan perubahan persepsi terhadap SMK, tetapi lebih disebabkan adanya peningkatan jumlah lulusan SLTP. Persepsi bahwa SMK “lebih rendah” dibanding SMU tidak hanya dimiliki oleh masyarakat awam, tetapi juga kalangan pendidik, bahkan juga para pendidik yang sehari-hari membina SMK.
Terdapat kritikan pada SMU dan kecenderungan menggabung SMU dan SMK menjadi sekolah menengah terpadu, perlukah General Education itu digabung menjadi satu harus didasarkan atas asumsi tersebut.
Menurut Martoenoes Arifin bahwa ada beberapa asumsi yang perlu dipertimbangkan yaitu:
1. Pendidikan harus dapat mencerdaskan semua rakyat.
2. Tidak semua orang yang berbakat tau berminat untuk masuk SMK dan sebaliknya.
3. Demokratisasi pendidikan total memberi tempat pada General Education dan Vocational Education.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa ada beberapa tendensi yang berkaitan dengan pelaksanaan sekolah menengah, yaitu :
a. Sekolah Menengah Pertama
1) SMP harus mengalami perubahan revolusioner pada jenis, sifat, dan lama pendidikannya supaya disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan Pendidikan Nasional.
2) SMP yang juga boleh disebut sekolah pemuda hendaknya memuat 4 tahun pelajaran.
3) Pelajarannya terutama bersifat pembentukan umum menurut prinsip-prinsip Pendidikan Nasional. Jadi dalam SMP belum ada spesialisasi. Spesialisasi baru dimulai sesudah SMP, namun agar SMP mempunyai keterampilan praktis, dan menghasilkan anak didik yang dapat berdiri sendiri , disamping mata-mata pelajaran umum, hendaknya
SMP mempunyai diferensiasi. Diferensiasi terdiri atas pelajaran-pelajaran elementer keahlian, yang diberikan selama 4 tahun juga murid-murid boleh memilih sendiri menurut bakatnya, akan tetapi hanya boleh memilih salah satu jurusan keahlian saja dan mereka dibimbing oleh pembimbing dan penyuluh yang diusahakan sekolah.
4) Sesuai dengan perkembangan itu, maka pendidikan di SMP sudah dapat mempunyai bagian-bagian misalnya: kelompok dasar, kelompok kesenian, kelompok perdagangan, kelompok administrasi, kelompok keterampilan/ketangkasan, dll.
5) Pada akhir SMP si murid tidak hanya mempunyai ijazah, melainkan juga sudah memiliki kecakapan jurusan sederhana, misalnya teknik, pertanian dsb. Kecakapan ini disesuaikan dengan kebutuhan daerah. Jadi jika murid tidak meneruskan sekolah, dia sudah dapat bekerja.
1) Sekolah menengah sebagai General Education berbeda dan terpisah dari sekolah menengah sebagai Vocational Education.
2) Sekolah menengah (General Education) mulai dari tingkat SMP sampai tingkat SMU yang masa belajarnya 3 tahun tambah 3 tahun seperti biasanya atau 4 tahun ditambah 2 tahun (perlu diteliti dari sudut psikologi remaja).
3) Kurikulum sekolah menengah tersebut selain memberikan hal-hal yang praktis sebagai bekal kemasyarakat juga terdapat program terminal baik merupakan suatu paket keterampilan yang dapat dipilih siswa yang tak berminat ke perguruan tinggi.
4) Kurikulum yang bersifat akademik selain basis bagi pendidikan tinggi juga merupakan program yang memperluas sistem intelektual siswa.
2. Konsep Sekolah Menengah Komprehensif
Secara historis pendidikan kejuruan (lebih luas dari SMK) telah berkembang seiring kehidupan manusia. Bahkan sangat mungkin pendidikan kejuruan merupakan pendidikan tertua, lebih tua dibanding dengan jenis pendidikan lainnya. Ketika orangtua mendidik anaknya begaimana berburu binatang untuk dimakan atau orangtua mengajari anaknya cara mencari tumbuh-tumbuhan yang dapat dimakan, sebenarnya mereka telah melakukan pendidikan kejuruan.
Secara definisi pendidikan kejuruan diartikan sebagai pendidikan yang dikaitkan untuk pekerjaan tertentu, baik ketika yang bersangkutan belum dapat mengerjakan atau meningkatkan mutu pekerjaan yang selama itu sudah dikerjakan. Dalam bahasa yang lebih komprehensif dikatakan pendidikan kejuruan bertujuan untuk mempersiapkan siswa dalam memasuki bidang pekerjaan tertentu (Evan,1974). Definisi yang kurang lebih sama juga disebutkan pada PP No. 29 Tahun 1990 dan dokumen “baku” Dit. Dikmenjur dengan judul Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui SMK (1998).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian seperti itu diikuti di Indonesia. Jika secara yuridis eksistensi pendidikan kejuruan memiliki landasan cukup kuat, secara sosiologispun juga cukup baik. Pendidikan kejuruan diharapkan mampu menumbuhkan hubungan yang harmonis bahkan sinergis dengan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain (ekonomi, politik, ketenagakerjaan, budaya, dsb).
Secara definisi pendidikan kejuruan diartikan sebagai pendidikan yang dikaitkan untuk pekerjaan tertentu, baik ketika yang bersangkutan belum dapat mengerjakan atau meningkatkan mutu pekerjaan yang selama itu sudah dikerjakan. Dalam bahasa yang lebih komprehensif dikatakan pendidikan kejuruan bertujuan untuk mempersiapkan siswa dalam memasuki bidang pekerjaan tertentu (Evan,1974). Definisi yang kurang lebih sama juga disebutkan pada PP No. 29 Tahun 1990 dan dokumen “baku” Dit. Dikmenjur dengan judul Pengembangan Sumber Daya Manusia melalui SMK (1998). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengertian seperti itu diikuti di Indonesia.
Jika secara yuridis eksistensi pendidikan kejuruan memiliki landasan cukup kuat, secara sosiologispun juga cukup baik. Pendidikan kejuruan diharapkan mampu menumbuhkan hubungan yang harmonis bahkan sinergis dengan sistem-sistem kemasyarakatan yang lain (ekonomi, politik, ketenagakerjaan, budaya, dsb).
Selanjutnya menurut Martoenoes Arifin, beberapa konsepsi pelaksanaan sekolah menengah di Indonesia, diantaranya:
1. Sekolah menengah khususnya (SMU, SMP) harus dipandang sebagai pertumbuhan dari bawah dan pertumbuhan dari atas artinya sebagai lanjutan dari SD dan persiapan ke perguruan tinggi.
2. SMK sebagai pertumbuhan dari atas harus mampu mempersiapkan peserta didik ke masyarakat (lapangan kerja) dan sebagai pertumbuhan dari atas SMU harus dapat mempersiapkan peserta didik untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
3. Sesuai dengan konsep pertumbuhan dari bawah dan dari atas maka kurikulum harus berisikan hal-hal yang praktis dan hal-hal yang bersifat akademik.
4. Pembagian sekolah menengah 3 tahun (SMP) ditambah 3 tahun(SMU) perlu dikelola lebih lanjut, sehingga diperoleh suatu pembelajaran sekolah menengah yang kuat.
5. Realiasasi sekolah menengah yang progresif di berbagai negara tertentu selalu sama sesuai dengan berbagai kepentingan.
Selanjutnya dapat disimpulkan, sekolah menengah komprehensif sebagai sekolah menengah yang menawarkah kurikulum sekolah umum, sekolah teknik dan sekolah umum, sekolah teknik dan sekolah modern atau disebut juga sekolah yang memberikan kombinasi diantara kurikulum tersebut.
Tujuan dari sekolah komprensif adalah demoktratisasi pendidikan dan melayani minat dan kebutuhan siswa, selain itu sekolah ini juga bertujuan untuk memberikan kesempatan pendidikan bagi semua anak, bukan untu membagi mereka menjadi kelompok yang berbeda.
3. Pelaksanaan Sekolah Menengah Komprehensif di Indonesia
Sekolah menengah umum dan sekolah menengah kejuruan adalah termasuk jenis sekolah menengah yang seolah-olah tidak pernah berhenti dipermasalahkan. Jika pada masa awal kemerdekaan SMK merupakan sekolah favorit, kini praktis SMK menjadi sekolah “kelas dua”. Lulusan SLTP yang masuk ke SMK pada umumnya bukan mereka yang tergolong tinggi kemampuan dasarnya. Selain itu implementasi Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan
Sekolah Menengah Atas di Indonesia, yaitu:
a. SLTP, dilihat dari materi pelajarannya, pendidikan disini dapat dikategorikan kedalam tahap persiapan kejuruan. Dengan demikian, pendidikan tersebut hanya sekedar merupakan dasar untuk menempuh pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (SLTA) atau untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan pekerja terampil,kalau itu sudah ada di Indonesia. Anggapan yang kurang tepat sudah terlanjur menyebar di masyarakat yang mengelompokkan lulusan sekolah tersebut kedalam pekerja semiterampil. Selain itu mereka sebenarnya baru tergolong pada remaja stadium awal yang masih dalam masa transisi dari dunia anak-anak ke dunia remaja. Maka dari itu, sesuai dengan bakat dan minat masing-masing, mereka sebaiknya disalurkan ke jenjang yang lebih tinggi atau mengikuti pendidikan kejuruan tingkat pertama yang berorientasi pada praktik untuk kemudian menjadi pekerja terampil.
b. SLTA memiliki siswa sekitar 4 juta, 1,3 juta diantaranya berada di jalur kejuruan. Dengan kata lain, hanya 60% siswa SLTP yang melanjutkan pendidikan ke tingkat SLTA. Di seluruh Indonesia tercatat sekitar 430.000 siswa STM. Lulusan STM dianggap baik oleh masyarakat maupun oleh dunia usaha, sebagai pekerja terampil. Anggapan ini pun kurang tepat sebab kurikulum STM terlalu berorientasi pada teori dan sangat sedikit praktek. Lulusan STM belum memiliki keterampilan yang memadai sehingga mereka masih harus melanjutkan pendidikan dan pelatihan yang lebih menitik beratkan pada praktek.
4. Pendidikan Komprehensip dengan Inovasi Pembelajaran
Pendidikan Komprehensif adalah pembelajaran yang berkelanjutan mulai dari PAUD/SD-SMP-SMA-PT. Pembelajaran yang meliputi banyak hal yaitu Ilmu Pengetahuan, Budi Pekerti, Akhlak, Karakter, Kreativitas, Inovatif. Istilah komprehensif yang digunakan dalam pendidikan karakter mencakup berbagai aspek.
Aspek yang pertama isinya harus komprehensif, meliputi suatu perma salahan yang berkaitan dengan pilihan nilai-nilai yang bersifat pribadi sampai kepada pertanyaan-pertanyaan mengenai etika secara umum. Kedua metodenya harus komprehensif yang meliputi penanaman nilai, pemberian teladan kepada peserta didik. Ketiga Pendidikan karakter hendaknya terjadi dalam keseluruhan proses pendidikan di kelas, dalam kegiatan ekstrakulikuler, dalam proses bimbingan dan penyuluhan.
Yang terakhir, keempat, pendidikan karakter hendaknya terjadi melalui kehidupan dalam masyarakat, karena peran serta masyarakat atau lingkungan dapat mempengaruhi karakter peserta didik (generasi muda). Didalam pembelajaran di sekolah harus membuat standarisasi bahwa kelompok bermain adalah saat anak memang bermain, PAUD saat anak bermain, Sekolah Dasar saat anak mulai dibangunkan karakternya supaya fundamen dalam diri anak tersebut benar-benar kuat, karakter SMP dan SMA lebih condong kepada pertengahan antara Pendidikan.
Pada usia sekolah dasar, peserta didik belum bisa membedakan antara benar dan salah, maka dari itu perlu ada bimbingan dari guru untuk menanamkan nilai fundamen dasar kepada peserta didik supaya lebih terarahkan kepada nilai moral yang baik pendidikan karakter pemberian teladan merupakan metode yang bisa digunakan. Pada pembelajaran yang dilakukan sejak PAUD/SD-SMP-SMA-PT inovasi pembelajaran akan mengalami integrasi peningkatan sesuai dengan perkembangan usia peserta didik. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh maka peserta didik akan mengalami pembiasaan terhadap gaya lingkungan belajarnya. Serta apa yang harus dikuasai dalam pembelajarannya. Semakin tinggi jenjang pendidikan semakin banyak pengalaman mengenai karakter yang ada dalam kehidupan sehari-hari. Pada jenjang
Perguruan Tinggi mahasiswa sudah bisa mengenali jati diri meraka sendiri. Tidak ada materi yang diajarkan pendidik (dosen) mengenai pendidikan karakter. Inovasi Pembelajaran lebih diutamakan kepada penguasaan materi melalui pendidikan Akademik yang diterima pada perkuliahan. Guna menciptakan kultur yang bermoral perlu diciptakan lingkungan sosial yang dapat mendorong mahasiswa memiliki moralitas yang baik atau karakter yang terpuji. Sebagai contoh, apabila suatu Perguruan Tinggi memiliki iklim demokratis, maka mahasiswa akan terdorong untuk bertindak secara demokratis. Sebaliknya apabila suatu perguruan tinggi terbiasa menggunakan tindakan-tindakan otoriter maka sulit untuk mendidik mahasiswa untuk menjadi pribadi yang demokratis. Demikian juga apabila perguruan tinggi dapat menciptakan lingkungan sosial yang menjunjung tinggi kejujuran dan rasa tanggung jawab maka lebih mudah bagi para mahasiswa untuk berkembang menjadi pribadi-pribadi yang jujur dan bertanggung jawab. Strategi yang dapat digunakan untuk mengembangkan karakter mahasiswa melewati kultur perguruan tinggi ialah dengan melibatkan para mahasiswa dalam membangun kehidupan di kampus. Misalnya dalam membangun kehidupan yang demokratis yang menghargai pluralistik, dan yang mematuh peaturan. Didalam hal ini mahasiswa juga dilibatkan dalam pembuatan peraturan, evaluasi peraturan, penegakan peraturan dan juga dalam hal penggantian peraturan.
a. Masalah penempatan guru, khususnya penempatan guru bidang studi sering mengalami kepincangan tidak disesuaikan dengan kebutuhan lapangan. Solusinya adalah kurikulum harus melakukan tindakan ansipasi terhadap pemberian bekal bagi calon luaran sesuai dengan ketentuan zaman.
b. Terbatasnya sarana dan prasarana belajar di sekolah seperti buku pelajaran, atalat laboratorium/alat praktek. Solusinya yaitu perlu terus diupayakan pemenuhan sarana dan prasarana pembelajaran yang memadai sebagaimana diisyaratkan dalam standar pelayanan minimal (SDM) Kep Men Diknas No. 053/U/2001.
c. Kualitas pembelajaran masih rendah, karena guru masih mendominasi proses pembelajaran, sedang siswa masih pasif. Solusinya adalah diharapkan guru mau melaksanakan fungsinya sebagai agen perubahan bagi perkembangan siswanya sekaligus sebagai pembimbingnya.
d. Kegiatan pembelajaran yang masih berpusat pada guru, pengembangan materi pelajaran tidak kontekstual dan kinerja siswa rendah baik pada proses maupun produk belajarnya.
Keadaan tersebut potensial menimbulkan kejenuhan, kebosanan serta menurunkan minat dan motivasi belajar siswa. Hal ini menyebabkan siswa tidak memiliki pengalaman belajar dan proses pembelajaran menjadi tidak bermakna. Jadi diharapkan guru mampu memainkan peran sebagai inovator pembelajaran.
Mengingat persepsi masyarakat terhadap SMK negatif, sementara itu serbuan iklan dari sekolah-sekolah asing semakin gencar, maka sudah saatnya dilakukan revitalisasi terhadap SMK. Persepsi tersebut harus dapat diubah, sehingga masyarakat meyakini, bahwa SMK merupakan pilihan yang tepat jika lulusan SLTP mengharapkan akan memasuki lapangan kerja setelah tamat SLTA. Untuk itu SMK harus mampu membuktikannya dilapangan dan bukan sekedar merupakan slogan.
Dalam revitalisasi, tampaknya aspek efektivitas dan efisiensi menjadi titik kritikal. Efektif artinya, program-program di SMK benar-benar sesuai dengan kebutuhan lapangan kerja. Efisien artinya program-program tersebut dilaksanakan dengan waktu, sumberdaya dan dana yang seminimal mungkin. Efektivitas SMK akan diukur seberapa jauh program di SMK relevan dengan kebutuhan dunia kerja, sehingga lulusannya memiliki kompetensi yang diperlukan oleh lapangan kerja. Untuk ini mau tidak mau SMK harus melihat kecenderungan ketenagakerjaan pada tingkat menengah.
Dengan kata lain, kedepan kemampuan adaptasi dan self training sangat diperlukan dan untuk itu bekal kemampuan yang transferable skill sangat diperlukan. Fenomena lain yang menarik dan terkait dengan pembahasan ini adalah fakta bahwa dunia kerja tidak lagi membedakan antara SMU dengan SMK. Iklan diberbagai surat kabar seringkali hanya mensyaratkan lulusan SLTA dengan memiliki keterampilan tertentu dan atau memiliki pengalaman kerja tertentu. Seakan-akan asal sekolah (SMU atau SMK) tidak lagi menjadi pertimbangan penting. Yang lebih diutamakan adalah memiliki keterampilan atau memiliki pengalaman kerja. Fenomena ini yang mungkin menyebabkan lulusan SLTP tidak merasa harus masuk ke SMK walaupun setelah lulus SLTA ingin bekerja. Toh dunia kerja tidak membedakan SMU atau SMK, sementara keterampilan dapat diperoleh dengan berbagai kursus keterampilan yang singkat.
Jika tamat dari SMU dapat melamar pekerjaan ke bidang mana saja, sementara jika tamat dari SMK (STM) tentu merasa aneh melamar untuk menjadi tenaga administrasi dan sebaliknya tamatan SMU akan merasa aneh jika melamar untuk menjadi operator mesin di suatu pabrik. Untuk aspek efisiensi tampaknya prinsip memberikan bekal yang “pas” sesuai dengan keperluan dunia kerja dan tidak perlu “berlebihan” perlu diterapkan.
Rendahnya efisiensi SMK saat ini sangat mungkin disebabkan Prograsm di SMK yang cenderung memberikan bekal “terlalu” berlebihan, sementara dunia kerja hanya memerlukan kompetensi tertentu saja. Jika dunia kerja hanya memerlukan kemampuan servis mobil, tentunya tidak perlu seseorang berlatih menghitung tenaga mobil.
Menurut Martoenoes Arifin ada beberapa solusi permasalahan pendidikan sekolah menengah, diantaranya:
1. Keterampilan terminal II dapat merupakan lanjutan keterampilan terminal I meskipun tanpa mengikuti atau lolos program akademis dan program praktis.
2. Seorang siswa dapat mengambil lebih dari satu jenis program terminal pada waktu yang bersamaan dan waktu yang berbeda.
3. Siswa sekolah menengah dapat terdiri dari SMU penuh dan siswa program terminal.
4. Sekolah menengah terbuka dengan menggunakan jasa teknologi pendidikan.
5. Pembahasan RT dan SPP atau kerenggangan beban SPP sekolah menengah dengan keluarga.
6. dan sebagainya.
Nama : ISNAINI
Nim : 1902060053
Prodi : s1-PGSD
University:Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat
Dosen pengempu:pak Hadi wijaya M,pd.
Makul:Kapita Selekta pendidikan
Nama : ISNAINI
Nim : 1902060053
Prodi : s1-PGSD
University:Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat
Dosen pengempu:pak Hadi wijaya M,pd.
Makul:Kapita Selekta pendidikan
Komentar
Posting Komentar