1. Jelaskan konsep dasar pendidikan wanita/Gender!
2. Jelaskan urgensi pendidikan wanita!
3. Jelaskan berbagai manifestasi tentang ketidakadilan gender!
4. Sebutkan dan jelaskan faktor-faktor penyebab ketidakadilan gender!
5. Jelaskan kaitan antara mendidik anak perempuan sama dengan
menampung masa depan!
6. Jelaskan konsep dasar citra wanita!
7. Jelaskan hubungan antara Ideologi gender dan pengembangan karier
Perempuan!
8. Jelaskan hubungan antara wanita dan kepemimpin.
Jawab.
1.konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, misalnya bahwa perempuan itu dikenal lembut, cantik,emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, cekatan, dan perkasa. Ciri dan sifat-sifat itu dapat dipertukarkan oleh karena urusan domestik dapat saja dikerjakan oleh kaum laki-laki bukan hanya oleh kaum wanita saja. Sebaliknya, bidang publik dapat juga dilakukan oleh kaum wanita, bukan hanya oleh kaum laki-laki.
2.Di dalam era Globalisasi pada saat ini, ternyata isu mengenai tingkat pendidikan menjadi salah satu topik yang sangat menarik dan juga sangat relevan untuk dibicarakan di kalangan masyarakat pada saat ini. Karena, proses memperoleh pendidikan mempunyai peranan besar untuk tercapainya suatu tujuan, yaitu perubahan pada pola sikap seseorang untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Tetapi pada kenyataannya, pandangan terhadap kaum wanita di lingkungan masyarakat tertentu di Indonesia pada saat ini masih terlihat sangat minim. Di lingkungan tertentu, kaum wanita bahkan tidak mendapatkan perhatian untuk memperoleh pendidikan sebagaimana mestinya.
Bahkan ada juga kaum wanita yang tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan seperti layaknya kaum pria, apakah hal ini petanda bahwa pendidikan tidak penting bagi kaum wanita? Pendidikan sangat penting untuk menunjang hidup seseorang, salah satunya yaitu untuk menunjang karir khususnya bagi seorang pria. Walaupun pada kenyataannya seseorang dapat sukses dalam berkarir tanpa melewati jenjang pendidikan, namun sebaiknya seseorang ditunjang dengan pendidikan karena hal tersebut akan lebih baik. Selain untuk menunjang karir seseorang, pendidikan juga berfungsi untuk memperbaiki pola pikir, memperbanyak relasi, dan menambah wawasan yang mungkin akan berguna untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, orang lain, dan khusunya bagi seorang suami apabila suatu saat nanti seorang wanita akan menjadi istri.
Perempuan dianggap berada diposisi paling lemah untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki (Sitoresmi & Ilmiah, 2009).
3.Ketidakadilan gender termanivestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan yang marinalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan baban kerja perempuan (Fakih, 1997:12-23).
2.Di dalam era Globalisasi pada saat ini, ternyata isu mengenai tingkat pendidikan menjadi salah satu topik yang sangat menarik dan juga sangat relevan untuk dibicarakan di kalangan masyarakat pada saat ini. Karena, proses memperoleh pendidikan mempunyai peranan besar untuk tercapainya suatu tujuan, yaitu perubahan pada pola sikap seseorang untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Tetapi pada kenyataannya, pandangan terhadap kaum wanita di lingkungan masyarakat tertentu di Indonesia pada saat ini masih terlihat sangat minim. Di lingkungan tertentu, kaum wanita bahkan tidak mendapatkan perhatian untuk memperoleh pendidikan sebagaimana mestinya.
Bahkan ada juga kaum wanita yang tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan seperti layaknya kaum pria, apakah hal ini petanda bahwa pendidikan tidak penting bagi kaum wanita? Pendidikan sangat penting untuk menunjang hidup seseorang, salah satunya yaitu untuk menunjang karir khususnya bagi seorang pria. Walaupun pada kenyataannya seseorang dapat sukses dalam berkarir tanpa melewati jenjang pendidikan, namun sebaiknya seseorang ditunjang dengan pendidikan karena hal tersebut akan lebih baik. Selain untuk menunjang karir seseorang, pendidikan juga berfungsi untuk memperbaiki pola pikir, memperbanyak relasi, dan menambah wawasan yang mungkin akan berguna untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, orang lain, dan khusunya bagi seorang suami apabila suatu saat nanti seorang wanita akan menjadi istri.
Perempuan dianggap berada diposisi paling lemah untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki (Sitoresmi & Ilmiah, 2009).
3.Ketidakadilan gender termanivestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan yang marinalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan baban kerja perempuan (Fakih, 1997:12-23).
a. Gender dan margilisasi perempuan
Marginalisasi atau pemiskinan adalah proses tindakan yang dilakukan oleh kebijkan pemerintah, keyakinan atau tafsiran agama, tradisi/kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan yang menyebabkan kemiskinan bagi perempuan. Misalnya: program swadaya pangan atau revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Marginalisasi juga diperkuat oleh adatistiadat maupun tafsiran keagamaan misalnya banyak di atas suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan warisan sama sekali (Fakih, 1997:14)
b. Gender dan subordinasi
Pandangan gender tenyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan.
c. Gender dan stereotipe
Stereotipe adalah penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe pada perempuan, misalnya lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan, jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya.
d. Gender dan kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan gender, diantaranya: perkosaan terhadap perempuan, pemukulan/serangan fisik dalam rumah tangga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin, misalnya penyunatan pada anak perempuan, pelacuran, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam KB, kekerasan terselubung dan pelecehan seksual.
e. Gender dan beban kerja perempuan
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga berakibat semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama, terlebih jika sebagai kariawan atau pekerja di luar rumah, maka ia memikul beban kerja ganda. Biar gender ini mengakibatkan beban kerja perempuan ke arah pekerjaan domestik yang dianggap dan dinilai lebih rendah daripada jenis pekerjaan laki-laki, sehingga dikategorikan bukan produktif dan tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara (Fakih, 1997:21-23).
4.Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender, yaitu :
a. Pertanyaan dalam Al-Quran disalahtafsirkan
Pada dasarnya ini adalah ajaran agama, khususnya islam adalah menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan, misalnya istilah qawwamun (pemimpin) disalahtafsirkan oleh sebagian orang sebagai kekuasaan, oleh karena itu, istri atau perempuan harus tunduk kepada laki-laki, padahal dalam Al-Quran tidak ada diskriminasi, tidak ada subordinasi terhadap perempuan. Subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang dikembangkan di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan seperti dalam Al- Quran surat Al-Hujarat ayat 14 yang berbunyi: “sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersukusuku agar kalian lebih sering mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang paling taqwa.”
Pemahaman yang biasa gender itu, juga membawa akibat pada persoalan warisan dan kesaksian, di mana nilai kaum perempuan dianggap separuh dari kaum laki-laki. Penafsiran tradisi yang salah akan Islam juga menganggap bahwa kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak berproduksi dan reproduksi mereka. Padahal pada ayat yang lain telah dinyatakan bahwa perempuan memiliki hak-hak reproduki,meliputi: hak jaminan keselamatan dan kesehatan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan dan menggunakan atau menolak penggunaan organ reproduksinya, hak untuk memilih pasangan, hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual.
b. Kebijakan negara untuk perempuan
1) UUD 1945 (pasal 27 ayat 20) yang berbunyi; “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan”. Dalam prakteknya, kaum perempuan lebih banyak bekerja pada bidang domestik daripada publik atau politik.
2) UU No. 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU no.12 tahun 1948 (pasal 1) tidak diperbolehkan perempuan yang bekerja umur 14 tahun ke bawah, tetapi kenyataannya hal ini tidak ditepati. 3) UU No. 7 tahun1984 tentang penghapusan segala diskriminasi terhadap perempuan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa semua menganggap tenaga kerja wanita sebagai bujangan implikasi diskriminasi imbalan jasa (Djumialdji, 1989:58).
4) Ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (pasal 3 ayat 1) belum mencapai tujuan, tampak ada pelanggaran mempekerjakan tenaga kerja wanita yang hamil dan masih di bawah umur.
5) Ketentuan tentang perlindungan khusus bagi wanita (UU No.12 tahun 1998) yang meliputi cuti haid, cuti hamil, melahirkan serta kesempatan menyusui anak ternyata dalam praktek, cuti haid tidak selalu diberikan dan diganti dengan uang insentif. Bahkan tenaga kerja wanita terpaksa mengundurkan diri bila hamil atau diadakan pemutusan kerja (PHK)
6) Konvensi pengupahan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk pekerja yang sama nilainya. Pada prakteknya dana kesehatan yang dimiliki istri sebagai pegawai tidak diperhitungkan.
c. Nilai budaya yang langgeng
Sejarah manusia, baik dulu hingga sekarang tampak bahwa laki-laki dan perempuan tidak setara. Wanita selalu mengalami ketidakberuntungan yang disebabkan oleh nilai budaya yang terpateri di masyarakat seakan-akan tak dapat diubah oleh waktu dan zaman. Ketidakberuntungan wanita ini dapat dilihat dari berbagai bidang.
5.Menurut Martoenoes Arifin ada beberapa asumsi yang mendasari pelaksanaan pandidikan wanita, yaitu:
a. Pertanyaan dalam Al-Quran disalahtafsirkan
Pada dasarnya ini adalah ajaran agama, khususnya islam adalah menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan, misalnya istilah qawwamun (pemimpin) disalahtafsirkan oleh sebagian orang sebagai kekuasaan, oleh karena itu, istri atau perempuan harus tunduk kepada laki-laki, padahal dalam Al-Quran tidak ada diskriminasi, tidak ada subordinasi terhadap perempuan. Subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang dikembangkan di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan seperti dalam Al- Quran surat Al-Hujarat ayat 14 yang berbunyi: “sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersukusuku agar kalian lebih sering mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang paling taqwa.”
Pemahaman yang biasa gender itu, juga membawa akibat pada persoalan warisan dan kesaksian, di mana nilai kaum perempuan dianggap separuh dari kaum laki-laki. Penafsiran tradisi yang salah akan Islam juga menganggap bahwa kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak berproduksi dan reproduksi mereka. Padahal pada ayat yang lain telah dinyatakan bahwa perempuan memiliki hak-hak reproduki,meliputi: hak jaminan keselamatan dan kesehatan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan dan menggunakan atau menolak penggunaan organ reproduksinya, hak untuk memilih pasangan, hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual.
b. Kebijakan negara untuk perempuan
1) UUD 1945 (pasal 27 ayat 20) yang berbunyi; “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan”. Dalam prakteknya, kaum perempuan lebih banyak bekerja pada bidang domestik daripada publik atau politik.
2) UU No. 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU no.12 tahun 1948 (pasal 1) tidak diperbolehkan perempuan yang bekerja umur 14 tahun ke bawah, tetapi kenyataannya hal ini tidak ditepati. 3) UU No. 7 tahun1984 tentang penghapusan segala diskriminasi terhadap perempuan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa semua menganggap tenaga kerja wanita sebagai bujangan implikasi diskriminasi imbalan jasa (Djumialdji, 1989:58).
4) Ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (pasal 3 ayat 1) belum mencapai tujuan, tampak ada pelanggaran mempekerjakan tenaga kerja wanita yang hamil dan masih di bawah umur.
5) Ketentuan tentang perlindungan khusus bagi wanita (UU No.12 tahun 1998) yang meliputi cuti haid, cuti hamil, melahirkan serta kesempatan menyusui anak ternyata dalam praktek, cuti haid tidak selalu diberikan dan diganti dengan uang insentif. Bahkan tenaga kerja wanita terpaksa mengundurkan diri bila hamil atau diadakan pemutusan kerja (PHK)
6) Konvensi pengupahan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk pekerja yang sama nilainya. Pada prakteknya dana kesehatan yang dimiliki istri sebagai pegawai tidak diperhitungkan.
c. Nilai budaya yang langgeng
Sejarah manusia, baik dulu hingga sekarang tampak bahwa laki-laki dan perempuan tidak setara. Wanita selalu mengalami ketidakberuntungan yang disebabkan oleh nilai budaya yang terpateri di masyarakat seakan-akan tak dapat diubah oleh waktu dan zaman. Ketidakberuntungan wanita ini dapat dilihat dari berbagai bidang.
5.Menurut Martoenoes Arifin ada beberapa asumsi yang mendasari pelaksanaan pandidikan wanita, yaitu:
1. Bahwa anak laki-laki itu secara kodrat di karuniai kelebihan dari laki-laki oleh karena laki-laki adalah pemimpin atau membimbing bagi wanita.
2. Wanita di samping memiliki kekurangan, juga memiliki kelebihan dari laki-laki oleh karenanya wanita jika memperolah kesempatan yang sama untuk hal yang netral dapat berprestasi sama dengan laki-laki dan untuk hal-hal khusus bahkan dapat melampaui prestasi laki-laki.
Asumsi kedua lebih realist dan lebih tepat untuk lanjutan pendidikan gender. Sementara pelaksanaan pendidikan wanita menurutnya bahwa:
1. Pendidikan wanita yang diberikan ke sistem persekolahan menampilkan program khusus pendidikan wanita.
2. Pendidikan wanita di keluarga merupakan dasar dan penunjang pelajaran pendidikan wanita di sekolah.
3. Pendidikan wanita untuk menunjukkan keterampilan kerja dapat dilaksanakan di lingkungan kerja atau di berikan koordinasi lingkungan kerja.
6.a. Cinta wanita dalam aspek fisik
b. Citra wanita dalam aspek psikis
c. Citra diri wanita
d. Citra sosial wanita
7.Ideologi Gender dan Pengembangan Karier Perempuan
Sejarah kehidupan perempuan dalam pekerjaan melalui proses sosialisasi yang berbeda terhadap pengenalan kerja antara pria dan wanita. Proses sosialisasi tersebut tanpa pada pembagian kerja anak pria dan wanita dalam keluarga yang berlanjut dalam masyarakat (budaya). Berdasar pada ideologi gender yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan peran gender antar anak pria dan wanita yang bersifat oposisional corner dalam Saptari & Holzner, 1995).
Dalam pembagian peran gender ini anak wanita lebih banyak diarahkan pada peran-peran domestik, produktif, feminim, dan jika wanita itu bekerja buka sebagai pencari nafkah utama, publik, maskulin, dan pencari nafkah utama tetapi hanya sebagai pencari nafkah tambahan secondary earner (Fakih, 1997). Karena itu wanita cocok bekerja di rumah, sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, merawat dan mengasuh/membesarkan anak, sedangkan anak pria sangat cocok bekerja di luar rumah.
8.Wanita dan Kepemimpinan
Pada dasarnya wanita yang lahir ke dunia ini membawa sejumlah satu di antara potensi itu adalah menjadi pemimpin (baik pria maupun wanita) untuk menjadi seorang pemimpin, terutama pemimpin di luar rumah dibutuhkan persyaratan-persyaratan khusus, sesuai dengan bidang yang akan dimasuki. Karena itu seorang calon pemimpin harus menjalani pendidikan formal, di samping pendidikan informal dan non formal.
Dalam era globalisasi sekarang ini, makin banyak persoalanpersoalan yang rumit dan kompleks, diperlukan pemimpin yang berkualitas. Dengan tidak mengabadikan IQ, pemilikan EQ yang tinggi pada wanita merupakan keunggulan baginya, karena mereka sudah terbiasa dengan perlakuan yang kurang/tidak mnguntungkan sehingga mereka tidak mudah stress jika menghadapi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perilaku manusia yang menyimpang. Dengan dasar pemikiran itu maka peluang wanita untuk menjadi kepala sekolah sangat besar.
b. Citra wanita dalam aspek psikis
c. Citra diri wanita
d. Citra sosial wanita
7.Ideologi Gender dan Pengembangan Karier Perempuan
Sejarah kehidupan perempuan dalam pekerjaan melalui proses sosialisasi yang berbeda terhadap pengenalan kerja antara pria dan wanita. Proses sosialisasi tersebut tanpa pada pembagian kerja anak pria dan wanita dalam keluarga yang berlanjut dalam masyarakat (budaya). Berdasar pada ideologi gender yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan peran gender antar anak pria dan wanita yang bersifat oposisional corner dalam Saptari & Holzner, 1995).
Dalam pembagian peran gender ini anak wanita lebih banyak diarahkan pada peran-peran domestik, produktif, feminim, dan jika wanita itu bekerja buka sebagai pencari nafkah utama, publik, maskulin, dan pencari nafkah utama tetapi hanya sebagai pencari nafkah tambahan secondary earner (Fakih, 1997). Karena itu wanita cocok bekerja di rumah, sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, merawat dan mengasuh/membesarkan anak, sedangkan anak pria sangat cocok bekerja di luar rumah.
8.Wanita dan Kepemimpinan
Pada dasarnya wanita yang lahir ke dunia ini membawa sejumlah satu di antara potensi itu adalah menjadi pemimpin (baik pria maupun wanita) untuk menjadi seorang pemimpin, terutama pemimpin di luar rumah dibutuhkan persyaratan-persyaratan khusus, sesuai dengan bidang yang akan dimasuki. Karena itu seorang calon pemimpin harus menjalani pendidikan formal, di samping pendidikan informal dan non formal.
Dalam era globalisasi sekarang ini, makin banyak persoalanpersoalan yang rumit dan kompleks, diperlukan pemimpin yang berkualitas. Dengan tidak mengabadikan IQ, pemilikan EQ yang tinggi pada wanita merupakan keunggulan baginya, karena mereka sudah terbiasa dengan perlakuan yang kurang/tidak mnguntungkan sehingga mereka tidak mudah stress jika menghadapi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perilaku manusia yang menyimpang. Dengan dasar pemikiran itu maka peluang wanita untuk menjadi kepala sekolah sangat besar.
Komentar
Posting Komentar