BAB X
PENDIDIKAN WANITA
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari uraian materi pada bab ini, maka mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan Konsep dasar Pendidikan Wanita/Gender
2. Menjelaskan Urgensi Pendidikan Wanita
3. Menjelaskan Berbagai Manifestasi Ketidakadilan Gender
4. Menyebutkan Faktor Penyebab Ketidakadilan Gender
5. Menjelaskan kaitan Antara Mendidik Anak Perempuan sama dengan Menampung Masa Depan
6. Menjelaskan Konsep dasar Citra Wanita
7. Menjelaskan hubungan Antara Ideologi Gender dan
Pengembangan Karier Perempuan
8. Menjelaskan hubungan Antara Wanita dan Kepemimpinan
B. Pendahuluan
Wanita Indonesia sudah sejak lama menjadi pusat perhatian dalam sastra Indonesia. Sosok wanita yang ditampilkan dalam novel ‘Azab dan Sengsara disusul ‘siti Nurbaya’ hingga kini menjadi sebuah mitos. Novel ini merupakan sangat emansipasi wanita yang saraf dengan gugatan terhadap nasib wanita Indonesia pada zamannya, bahwa tokoh wanita dalam Siti Nurbaya sebagai modal dan model yang hingga kini dimiliki oleh manusia Indonesia dalam menilai kehidupan peran dan kedudukan wanita. Kenyataannya menunjukkan bahwa peran dan kedudukan wanita tahun 2000-an tidak jauh berbeda dengan peran dan kedudukan wanita dalam karya-karya sebelumnya. Mungkin tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Siti Nurbaya muncul kembali dengan gaya modern.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan posisi wanita sejak dulu sampai sekarang berada pada posisi tersudut atau tidak menguntungkan. Padahal, kemampuan dan potensi wanita masa kini tidak kalah dengan kemampuan yang dimiliki oleh kaum pria. Penindasan kaum wanita itu,bukan hanya ditampilkan oleh tokoh wanita dalam novel-novel Balai Pustaka (Djumingin, 2001), melainkan juga oleh tokoh wanita dalam novel masa kini, seperti “jntara Bianglala” dan “Perempuan Jogya” karya Ahmad Tosari. Selanjutnya, ketidakberuntungan wanita tidak hanya ditampilkan oleh pengarang dalam karyanya, tetapi juga penindasan wanita itu terjadi juga dimasyarakat atau dalam kenyataan hidup sehari-hari, tidak jarang kita melihat wanita yang dipukuli oleh suaminya, bahkan tidak melihat tempat dimanapun mereka ingin memukulnya baik itu di rumah maupun di jalan atau tempattempat keramaian.
Menurut Martoenoes Arifin kualitas Sumber Daya Manusia wanita amat tertinggal dibanding dengan lelaki, kenyataan menunjukkan bahwa:
1. Di desa peluang wanita untuk memperoleh pendidikan lebih kecil dari laki-laki.
2. Keterampilan yang dimiliki wanita desa lebih rendah dibandingkan laki-laki.
3. Di kota hampir semua lapangan dimonopoli oleh laki-laki terutama pekerjaan yang membentuk keterampilan khusus.
4. Deskriminasi yang terjadi selama ini membuat sumber daya wanita dalam kesamaan kultural budaya.
1. Konsep Pendidikan Wanita/Gender
Gender sering dikacaukan pengertiannya dengan jenis kelamin (biologis). Pengertian jenis kelamin merupakan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya laki-laki adalah manusia yang memiliki penis dan memproduksi sperma sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi, seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Ketentuan biologis ini secara permanen tidak dapat dipertukarkan dan telah menjadi kodrat dari Tuhan.
Lain halnya dengan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, misalnya bahwa perempuan itu dikenal lembut, cantik,emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, cekatan, dan perkasa. Ciri dan sifat-sifat itu dapat dipertukarkan oleh karena urusan domestik dapat saja dikerjakan oleh kaum laki-laki bukan hanya oleh kaum wanita saja. Sebaliknya, bidang publik dapat juga dilakukan oleh kaum wanita, bukan hanya oleh kaum laki-laki.
Gender merupakan “konstruksi sosial tentang peran laki-laki dan wanita sebagaimana dituntut oleh masyarakat dan diperankan oleh mereka masing-masing" (Hafidz, 1995;5). Tujuan pendidikan adalah menjadikan manusia sesungguhnya dalam arti manusia seutuhnya, orang bugis menyebutnya dengan istilah mancaji tau tongeng. Pencapaian tujuan pendidikan itu diperoleh melalui bimbingan orang tua dan masyarakat sekitar. Pola pengasuhan orang tua ketika anak masih kecil (usia 5 tahun ke bawah) belum mengenal perbedaan peran gender.
Anak laki-laki dan perempuan dalam hal ini dibimbing, diasuh dan dididik untuk mengenali norma-norma yang paling dasar, yaitu pengenalan mengenai baik dan buruk, pantas dengan tidak pantas sebagai seorang manusia yang mempunyai nilai pribadi sesuai dengan tatanan hidup yang berlaku. Periode ini biasanya berlangsung satu sampai dua tahun dan tidak sama bagi semua anak, karena setiap individu mempunyai karakteristik masing-masing.
Pendidikan sangat dibutuhkan oleh setiap masyarakat desa ataupun kota, berbanding terbalik pemahaman pendidikan masyarakat dahulu yang tidak memprioritaskan melainkan lebih mementingkan pekerjaan. Apalagi di pelosok-pelosok desa pendidikan hanyalah menyia-nyiakan waktu untuk belajar, karena persepektif mayoritas masyarakat pedalaman, orang yang sekolah tidak sekolah pasti akhir-akhirnya bekerja juga. Sedangkan pendidikan untuk kalangan perempuan lebih memprihatinkan, sebab mayoritas orang tua menikahkan anaknya sebelum lulus Sekolah Dasar (SD) karena perempuan pantasnya di dapur, sumur dan kasur.
Di dalam era Globalisasi pada saat ini, ternyata isu mengenai tingkat pendidikan menjadi salah satu topik yang sangat menarik dan juga sangat relevan untuk dibicarakan di kalangan masyarakat pada saat ini. Karena, proses memperoleh pendidikan mempunyai peranan besar untuk tercapainya suatu tujuan, yaitu perubahan pada pola sikap seseorang untuk menjadi lebih baik lagi dari sebelumnya. Tetapi pada kenyataannya, pandangan terhadap kaum wanita di lingkungan masyarakat tertentu di Indonesia pada saat ini masih terlihat sangat minim. Di lingkungan tertentu, kaum wanita bahkan tidak mendapatkan perhatian untuk memperoleh pendidikan sebagaimana mestinya.
Bahkan ada juga kaum wanita yang tidak diberikan kesempatan untuk memperoleh pendidikan seperti layaknya kaum pria, apakah hal ini petanda bahwa pendidikan tidak penting bagi kaum wanita? Pendidikan sangat penting untuk menunjang hidup seseorang, salah satunya yaitu untuk menunjang karir khususnya bagi seorang pria. Walaupun pada kenyataannya seseorang dapat sukses dalam berkarir tanpa melewati jenjang pendidikan, namun sebaiknya seseorang ditunjang dengan pendidikan karena hal tersebut akan lebih baik. Selain untuk menunjang karir seseorang, pendidikan juga berfungsi untuk memperbaiki pola pikir, memperbanyak relasi, dan menambah wawasan yang mungkin akan berguna untuk diri sendiri, keluarga, sahabat, orang lain, dan khusunya bagi seorang suami apabila suatu saat nanti seorang wanita akan menjadi istri.
Perempuan dianggap berada diposisi paling lemah untuk memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki (Sitoresmi & Ilmiah, 2009). Sampai saat ini masih banyak perempuan yang belum memiliki kesempatan besar untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas. Hal ini mungkin terjadi karena adanya alasan ekonomi, keluarga, dan juga budaya yang menjadi salah satu faktor utama yang membatasi wanita untuk memperoleh kesempatan pendidikan. Fakta-fakta tersebut merupakan fenomena sosial yang menjadi salah satu dampak dari perubahan di dalam masyarakat, karena banyaknya perbedaan persepsi antara kaum wanita dengan masyarakat awam lainnya terhadap penilaian tentang pendidikan.
Perbedaan persepsi untuk memperoleh kesempatan pendidikan bagi wanita tidak lepas dari latar belakang dan budaya yang ada di masyarakatnya. Padahal, pendidikan merupakan hak bagi setiap orang baik pria maupun wanita. Tetapi sulit kita pungkiri apabila ada yang berpendapat bahwa pria dan wanita mempunyai kedudukan dan persamaan hanya sampai pada batas spritual saja dan masyarakat dibiarkan untuk membuat batasan-batasan berdasarkan gender. Pendidikan adalah salah satu jalan yang menjadikan perempuan sebagai agen perubahan, bukan sekedar penerima pasif program-program pemberdayaan.
Pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang memungkinkan perempuan memiliki independensi (kemandirian) ekonomi dengan bekerja baik di luar maupun di dalam rumah tinggalnya (Khayati, n.d.). Dari definisi tersebut, maka seharusnya tidak ada lagi alasan untuk mendiskriminasikan atau menelantarkan pendidikan bagi kaum wanita. Dan wanita tentunya juga mempunyai hak untuk belajar di bidang apa saja. Secara alamiah, memang benar pria berbeda dengan wanita, baik secara fisik maupun secara psikologi. Jika dilihat secara fisik, tentu sangat terlihat jelas perbedaannya.
Oleh karena itu, wajar jika masih banyak masyarakat yang menganggap bahwa wanita harus hidup di lingkungan keluarganya, supaya rumah tangganya lebih tentram, damai, bahagia, dan sejahtera. Demikian juga dengan pria, pria mempunyai tugas untuk mencari nafkah dan bekerja untuk keluarga, sedangkan wanita sebagai pengelola dan pengatur di dalam rumah tangga. Otak dan hati yang dimiliki seseorang mempunyai kapasitas yang sangat jauh lebih banyak dari apa yang kita bayangkan selama ini. Jadi, jika kita mampu menguasai banyak bidang. Mengapa harus terpaku hanya dalam 1 bidang saja? Bahkan, otak dan hati kita bila semakin di asah maka akan semakin berfungsi dengan baik juga.
Pada akhirnya, perempuan memang memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan ini. Seharusnya kaum wanita juga tidak boleh bosan dan menyerah untuk terus memperjuangkan hak-hak wanita, terutama hak pendidikan bagi wanita. Jadi, untuk kaum wanita yang ada di negeri ini, marilah kita mempunyai semangat yang berkobar untuk memperoleh kesempatan berpendidikan yang tinggi.
3. Berbagai Manifestasi Ketidakadilan Gender
Ketidakadilan gender termanivestasi dalam berbagai bentuk ketidakadilan yang marinalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan baban kerja perempuan (Fakih, 1997:12-23).
a. Gender dan margilisasi perempuan
Marginalisasi atau pemiskinan adalah proses tindakan yang dilakukan oleh kebijkan pemerintah, keyakinan atau tafsiran agama, tradisi/kebiasaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan yang menyebabkan kemiskinan bagi perempuan. Misalnya: program swadaya pangan atau revolusi hijau secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Marginalisasi juga diperkuat oleh adatistiadat maupun tafsiran keagamaan misalnya banyak di atas suku-suku di Indonesia yang tidak memberi hak kepada kaum perempuan untuk mendapatkan warisan sama sekali (Fakih, 1997:14)
b. Gender dan subordinasi
Pandangan gender tenyata bisa menimbulkan subordinasi terhadap perempuan. Anggapan bahwa perempuan itu irrasional atau emosional sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin, berakibat munculnya sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak menguntungkan.
c. Gender dan stereotipe
Stereotipe adalah penandaan terhadap suatu kelompok tertentu. Stereotipe pada perempuan, misalnya lawan jenisnya, maka setiap ada kasus kekerasan atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan stereotipe ini. Bahkan, jika ada pemerkosaan yang dialami perempuan, masyarakat cenderung menyalahkan korbannya.
d. Gender dan kekerasan
Kekerasan (violence) adalah serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan gender, diantaranya: perkosaan terhadap perempuan, pemukulan/serangan fisik dalam rumah tangga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ alat kelamin, misalnya penyunatan pada anak perempuan, pelacuran, pornografi, pemaksaan sterilisasi dalam KB, kekerasan terselubung dan pelecehan seksual.
e. Gender dan beban kerja perempuan
Adanya anggapan bahwa kaum perempuan memiliki sifat memelihara dan rajin, serta tidak cocok menjadi kepala rumah tangga berakibat semua pekerjaan rumah tangga menjadi tanggung jawab perempuan. Konsekuensinya, banyak kaum perempuan yang harus bekerja keras dan lama, terlebih jika sebagai kariawan atau pekerja di luar rumah, maka ia memikul beban kerja ganda. Biar gender ini mengakibatkan beban kerja perempuan ke arah pekerjaan domestik yang dianggap dan dinilai lebih rendah daripada jenis pekerjaan laki-laki, sehingga dikategorikan bukan produktif dan tidak diperhitungkan dalam statistik ekonomi negara (Fakih, 1997:21-23).
4. Faktor Penyebab Ketidak adilan Gender
Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya ketidakadilan gender, yaitu :
a. Pertanyaan dalam Al-Quran disalahtafsirkan
Pada dasarnya ini adalah ajaran agama, khususnya islam adalah menganjurkan dan menegakkan prinsip keadilan, misalnya istilah qawwamun (pemimpin) disalahtafsirkan oleh sebagian orang sebagai kekuasaan, oleh karena itu, istri atau perempuan harus tunduk kepada laki-laki, padahal dalam Al-Quran tidak ada diskriminasi, tidak ada subordinasi terhadap perempuan. Subordinasi terhadap kaum perempuan merupakan suatu keyakinan yang dikembangkan di masyarakat yang tidak sesuai atau bertentangan dengan semangat keadilan seperti dalam Al- Quran surat Al-Hujarat ayat 14 yang berbunyi: “sesungguhnya telah Aku ciptakan kalian laki-laki dan perempuan dan Aku jadikan kalian berbangsa dan bersukusuku agar kalian lebih sering mengenal; sesungguhnya yang mulia di antara kalian adalah yang paling taqwa.”
Pemahaman yang biasa gender itu, juga membawa akibat pada persoalan warisan dan kesaksian, di mana nilai kaum perempuan dianggap separuh dari kaum laki-laki. Penafsiran tradisi yang salah akan Islam juga menganggap bahwa kaum perempuan sama sekali tidak memiliki hak berproduksi dan reproduksi mereka. Padahal pada ayat yang lain telah dinyatakan bahwa perempuan memiliki hak-hak reproduki,meliputi: hak jaminan keselamatan dan kesehatan yang berkenaan dengan pilihan-pilihan untuk menjalankan dan menggunakan atau menolak penggunaan organ reproduksinya, hak untuk memilih pasangan, hak untuk menikmati dan menolak hubungan seksual.
b. Kebijakan negara untuk perempuan
1) UUD 1945 (pasal 27 ayat 20) yang berbunyi; “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kehidupan”. Dalam prakteknya, kaum perempuan lebih banyak bekerja pada bidang domestik daripada publik atau politik.
2) UU No. 1 tahun 1951 tentang pernyataan berlakunya UU no.12 tahun 1948 (pasal 1) tidak diperbolehkan perempuan yang bekerja umur 14 tahun ke bawah, tetapi kenyataannya hal ini tidak ditepati. 3) UU No. 7 tahun1984 tentang penghapusan segala diskriminasi terhadap perempuan, namun hasil penelitian menunjukkan bahwa semua menganggap tenaga kerja wanita sebagai bujangan implikasi diskriminasi imbalan jasa (Djumialdji, 1989:58).
4) Ketentuan tentang keselamatan dan kesehatan kerja (pasal 3 ayat 1) belum mencapai tujuan, tampak ada pelanggaran mempekerjakan tenaga kerja wanita yang hamil dan masih di bawah umur.
5) Ketentuan tentang perlindungan khusus bagi wanita (UU No.12 tahun 1998) yang meliputi cuti haid, cuti hamil, melahirkan serta kesempatan menyusui anak ternyata dalam praktek, cuti haid tidak selalu diberikan dan diganti dengan uang insentif. Bahkan tenaga kerja wanita terpaksa mengundurkan diri bila hamil atau diadakan pemutusan kerja (PHK)
6) Konvensi pengupahan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk pekerja yang sama nilainya. Pada prakteknya dana kesehatan yang dimiliki istri sebagai pegawai tidak diperhitungkan.
c. Nilai budaya yang langgeng
Sejarah manusia, baik dulu hingga sekarang tampak bahwa laki-laki dan perempuan tidak setara. Wanita selalu mengalami ketidakberuntungan yang disebabkan oleh nilai budaya yang terpateri di masyarakat seakan-akan tak dapat diubah oleh waktu dan zaman. Ketidakberuntungan wanita ini dapat dilihat dari berbagai bidang.
5. Mendidik Anak Perempuan Menampung Masa Depan
Keberadaan kaum perempuan yang memprihatinkan di negaranegara sedang berkembang sungguh menyentuh hati Dr Nils Daulaire ketika bersama anak perempuannya berusia 11 tahun berjalan-jalan di sebuah daerah pedesaan Nepal (kawasan Perguruan Himalaya) .Pada suatu hari sang ayah bersama putrinya itu berhenti sejenak untuk berbincang-bincang dengan dua anak laki-laki Nepal, yang kemudian dengan heran menatap si gadis Amerika berambut pirang yang jangkung itu. Kedua anak laki-laki itu mengira gadis yang bersama Daulaire itu adalah istrinya, tetapi setelah dijelaskan bahwa dia sebagai putrinya yang masih berstatus pelajar, kedua bocah ini menjadi bingung karena yang mereka ketahui selama ini adalah para gadis negeri itu tidak pernah mengenal pendidikan.
Seketika itulah terjadilah percakapan singkat sebagai berikut: “Bagaimanakah keadaan anak-anak perempuan di sekolahmu?” tanya gadis Amerika yang bisa berbahasa Nepal itu. “Anak perempuan? Tidak ada anakperempuan di sekolah kami. Mengapa engkau bertanya pertanyaan semacam itu?” jawab kedua bocah Nepal itu ternyata anak-anak perempuan di Nepal umunya harus bekerja dan yang bersekolah hanyalah anak lelaki, sehingga gadis tadi bertanya kembali kepada kedua boccah itu, “Mengapa kalian tidak bekerja?” “Kami harus ke sekolah,” jawab kedua anak putra itu.
Bagi Daulaire, yang juga sebagai penasehat senior pada Badan Pembangunan Internasional AS (USAID), ilustrasi di atas menunjukkan betapa sulitnya masyarakat di negara-negara sedang berkembang memahami pentingnya pendidikan bagi anak-anak perempuan. Saat ini sudah di pertiga dari satu miliar manusia yang buta aksara di seluruh dunia adalah perempuan. Namun pernah dalam suatu konferensi di Washington sekitar 500 pejabat kesehatan dan pendidikan dari seluruh dunia bertemu di bawah pengawasan USAID dengan para pejabat AS dan PBB guna bertukar pikiran tentang cara perubahan keadaan kaum wanita yang memprihatinkan itu.
USAID berharap, mengentaskan buta huruf di sejumlah negara dengan inisiatif pendidikan anak gadis dan wanita yang tujuan akhirnya menuju pada pendidikan menyeluruh “kami bekerja sama dengan departement pendidikan di banyak negara,” kata Daulaire. Sebagaian besar uang dari negara saya sekarang mengalir ke berbagai universitas dan mayoritas penduduk yang membutuhkannya, katanya. Pentingnya pendidikan bagi anak perempuan menurut Daulaire, adalah kunci bagi pembangunan suatu dunia yang modern. (baroto-miol).
Menurut Martoenoes Arifin ada beberapa asumsi yang mendasari pelaksanaan pandidikan wanita, yaitu:
1. Bahwa anak laki-laki itu secara kodrat di karuniai kelebihan dari laki-laki oleh karena laki-laki adalah pemimpin atau membimbing bagi wanita.
2. Wanita di samping memiliki kekurangan, juga memiliki kelebihan dari laki-laki oleh karenanya wanita jika memperolah kesempatan yang sama untuk hal yang netral dapat berprestasi sama dengan laki-laki dan untuk hal-hal khusus bahkan dapat melampaui prestasi laki-laki.
Asumsi kedua lebih realist dan lebih tepat untuk lanjutan pendidikan gender. Sementara pelaksanaan pendidikan wanita menurutnya bahwa:
1. Pendidikan wanita yang diberikan ke sistem persekolahan menampilkan program khusus pendidikan wanita.
2. Pendidikan wanita di keluarga merupakan dasar dan penunjang pelajaran pendidikan wanita di sekolah.
3. Pendidikan wanita untuk menunjukkan keterampilan kerja dapat dilaksanakan di lingkungan kerja atau di berikan koordinasi lingkungan kerja.
6. Konsep Citra Wanita
a. Cinta wanita dalam aspek fisik
Menurut Saldi (1988-164) citra fisik wanita adalah citra fisik dewasa, wanita yang sudah berumah tangga. Secara fisiologis, wanita dewasa dicirikan oleh tanda-tanda jasmani, antara lain: dengan dialaminya haid dan perubahan fisik lainnya seperti tumbunya bulu di bagian badan tertentu, perubahan suara, siklus haid, buah dada membesar dan lain sebagainya. dalam aspek fisik ini, wanita mengalami hal-hal yang khas, yang tidak dialami pria, misalnya hanya wanita yang bisa hamil, melahirkan dan menyusui anak-anaknya.
b. Citra wanita dalam aspek psikis
Ditinjau dari segi psikisnya wanita adalah mahluk yang berfikir, berperasaan dan beraspirasi. Dengan meningkatkan faktor fisik dan psikis, keduanya ikut mempengaruhi dan menentukan citra perilakunya. Kartono (1981:175) dalam aspek psikisnya kejiwaan wanita dewasa ditandai antara lain oleh sikap bertanggung jawab penuh terhadap diri sendiri. Ada keputusan hati yang dipilih wanita sesuai dengan aspek psikisnya sebagai wanita dewasa.
Berbagi aktivitas yang ditempuhnya sebagai konsekuensi tanggung jawab pembentukan pribadi. Selanjutnya Kartono mngatakan bahwa aspek psikis ini dapat dicitrakan dari gambaran pribadi, dengan memilih relasi sosial yang sifatnya stabil. Misalnya perkawinan, pilihan sikap, pilihan pekerjaan dan sebagainya. citra wanita dalam aspek psikis adalah wanita dewasa yang berkarakteristik stabil, wanita yang tetap memilih perannya, baik sebagai ibu rumah tangga, istri, pembantu rumah tangga, maupun sebagai individu wanita secara umum.
c. Citra diri wanita
Berdasarkan klasifikasi citra fisik dan psikis maka dapat diabstaraksikan kedua citra diri wanita. Dalam hal ini wanita dewasa menjadi subjek yang aktif dan dinamis. Dari aspek fisik citra wanita itu melalui pengalaman-pengalaman tertentu yang dialaminya, yang tidak dialami oleh pria misalnya sobeknya selaput darah, melahirkan dan menyusui anaknya. Citra diri wanita ini berbeda juga dengan pria antara lain fisik yang lembut, lincah dan lemah, struktur tingkah lakunya cara berpakaian dan citra fisiknya.
d. Citra sosial wanita
Citra wanita dalam aspek sosial yaitu peran wanita dalam keluarga dan peran wanita dalam masyarakat. Peran ialah yang dimainkan oleh seseorang pada setiap keadaan dan cara tingkah laku untuk menyelaraskan diri dan keadaan (Wolfman, 1989:10). Peran dapat berarti seperangkat tingkah yang diharapankan dimiliki oleh seseorang yang berkedudukan dalam masyarakat. Peranan wanita artinya bagian dari tugas utama yang harus dilaksanakan wanita, yaitu ada tujuh peranan yang dapat dimainkan wanita yang sebagian berorientasi pada keluarga dan sebagian berorientasi pada masyarakat.
Ketujuh peranan tadi adalah:
1). Sebagai orang tua,
2).Sebagai istri,
3). Di dalam rumah tangga,
4). Dalam kekerabatan,
5). Pribadi,
6). Komunitas, dan
7). Di dalam pekerjaan (Oppong dan Church, 1981:1)
peran-peran itu menyangkut peran wanita sebagai individu dan peran wanita sebagai mahluk sosial.
7. Ideologi Gender dan Pengembangan Karier Perempuan
Sejarah kehidupan perempuan dalam pekerjaan melalui proses sosialisasi yang berbeda terhadap pengenalan kerja antara pria dan wanita. Proses sosialisasi tersebut tanpa pada pembagian kerja anak pria dan wanita dalam keluarga yang berlanjut dalam masyarakat (budaya). Berdasar pada ideologi gender yang dianut, masyarakat kemudian menciptakan peran gender antar anak pria dan wanita yang bersifat oposisional corner dalam Saptari & Holzner, 1995).
Dalam pembagian peran gender ini anak wanita lebih banyak diarahkan pada peran-peran domestik, produktif, feminim, dan jika wanita itu bekerja buka sebagai pencari nafkah utama, publik, maskulin, dan pencari nafkah utama tetapi hanya sebagai pencari nafkah tambahan secondary earner (Fakih, 1997). Karena itu wanita cocok bekerja di rumah, sebagai ibu rumah tangga, pendamping suami, merawat dan mengasuh/membesarkan anak, sedangkan anak pria sangat cocok bekerja di luar rumah.
8. Wanita dan Kepemimpinan
Pada dasarnya wanita yang lahir ke dunia ini membawa sejumlah satu di antara potensi itu adalah menjadi pemimpin (baik pria maupun wanita) untuk menjadi seorang pemimpin, terutama pemimpin di luar rumah dibutuhkan persyaratan-persyaratan khusus, sesuai dengan bidang yang akan dimasuki. Karena itu seorang calon pemimpin harus menjalani pendidikan formal, di samping pendidikan informal dan non formal.
Dalam era globalisasi sekarang ini, makin banyak persoalanpersoalan yang rumit dan kompleks, diperlukan pemimpin yang berkualitas. Dengan tidak mengabadikan IQ, pemilikan EQ yang tinggi pada wanita merupakan keunggulan baginya, karena mereka sudah terbiasa dengan perlakuan yang kurang/tidak mnguntungkan sehingga mereka tidak mudah stress jika menghadapi persoalan-persoalan yang berhubungan dengan perilaku manusia yang menyimpang. Dengan dasar pemikiran itu maka peluang wanita untuk menjadi kepala sekolah sangat besar.
Komentar
Posting Komentar