BAB IX
PENDIDIKAN INTERNASIONAL
A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari uraian materi pada bab ini, maka mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan tendensi dan latar belakang diselenggarakannya pendidikan internasional.
2. Menjelaskan asumsi pendidikan internasional.
3. Menjelaskan konteks pendidikan internasional dalam inter cultural education.
4. Menjelaskan hubungan antara pendidikan internasional dan pertukaran siswa/mahasiswa
5. Mendeskripsikan pelaksanaan pendidikan intenasional di Indonesia
6. Mengidentifikasi implikasi masalah dalam pendidikan internasional
7. Memberikan alternatif solusi terhadap permasalahan pendidikan internasional
B. Pendahuluan
Pendidikan sebagai salah satu lembaga sosial yang tertua selalu mengalami dampak perubahan-perubahan di dalam masyarakat. Bila kita perhatikan perkembangan pendidikan di dunia, maka akan tampak bahwa terutama pada tahun 1960-an dan 1970-an pendidikan tidak hanya merefleksikan segala dinamika, tetapi juga segala kontradiksi sebagai ciri keadaan seluruh dunia pada kurun waktu itu.
Di dalam dasawarsa itu pula penampilan Negara-negara berkembang dalam berbagai forum internasional bertambah menonjol dengan bobot peran lebih meningkat. Terbentuknya kelompok-kelompok Negara dalam berbagai bentuk kerja sama, serta munculnya kekuatan baru yakni Multinasional Corporation, menimbulkan persaingan-persaingan yang hebat dalam bidang apapun juga termasuk pendidikan dengan skala dunia.
Pada memasuki era global dan pasar bebas, seharusnya sudah ada lembaga pendidVikan kita di daerah ini yang mampu bersaing secara internasional dan global, sekurang-kurangnya ada satu TK sampai SMA atau sederajat. Kendalanya yang klasik adalah keterbatasan dana, fasilitas, sumber daya manusia dan sarana lainnya belum siap untuk mendirikan sekolah bertaraf internasional.
C. Uraian Materi
1. Tendensi dan Latar Belakang Pendidikan Internasioanal
Belakangan ini muncul tren di beberapa sekolah yang mengklaim dirinya menerapkan pendidikan internasional. Dengan mengadopsi kurikulum asing dan medatangkan para mengajar dari negara asal kurikulum, sekolahsekolah ini berani mnyebutkan bahwa kurikulum mereka berkualitas pendidikan internasional.
Sebenarnya standar pendidikan internasional bukan sekedar pendidikan yang menggunakan bahasa internasional, bukan hanya pada kulitnya. Yang hanya mempromosikan penggunaan bahasa asing.Pendidikan internasional harus dimaknai dengan pendidikan yang menjadikan anak didiknya berpikir secara terbuka dan internasional, (Open dan international minded). International minded di mana di dalamnya para anak didiknya kelak akan menjadi manusia yang ‘berwarga negara internasional’ atau istilahnya sebagai global citizen. Jadi, pendidikan internasional bukan sekedar kulit belaka, namun lebih parah esensinya dalam pembelajaran.
Dalam pendidikan internasional, kurikulum yang diterapkan bolehboleh saja kurikulum nasional, tetapi di dalamnya disisipkan pendidikan untuk berinternasional. Artinya, anak didik dijejali dengan pendidikan akan hidup dalam suasana damai di dunia, dengan menjunjung tinggi nalai-nilai kemanusiaan, diberikan makna perdamaian internasional, dan arah pendidikan yang lebih baik. Bentuk pendidikan semacam ini bukan dalam tingkat pendidikan teori, namun harus diterapkan secara nyata.
2. Asumsi Pendidikan Internasional
Ada perbedaan yang signifikan antara wawasan orang yang maju (modern) dengan orang yang tertinggal (tradisional), termasuk pemimpin, pengusaha dan tokoh masyarakat terhadap beberapa hal. Mereka yang maju mempunyai wawasan sangat luas dan maju ke depan. Mereka dapat melihat kepentingan masyarakat, bangsa dan negara yang lebih luas untuk puluhan tahun ke depan. Sebaliknya, mereka yang tertinggal mempunyai wawasan sempit dan terbatas. Mereka hanya mampu melihat kepentingan pribadi dan kelompok dalam lingkup yang sempit untuk jangka pendek.
Perbedaan masyarakat atau bangsa yang maju (modern) selain melaksanakan pembangunan fisik mereka membangun mental generasi muda. Untuk itu, mereka tidak ragu mngeluarkan anggaran yang lebih besar untuk pendidikan. Sebaliknya, masyarakat atau bangsa yang tertinggal(tradisional) hanya mengutamakan pembangunan fisik.
Selain itu beberapa asumsi yang mendasari pelaksanaan pendidikan Internasional adalah sebagai berikut:
a. Hidup berdampingan secara dinamis jauh akan lebih menguntungkan dari pada bermusuhan antara bangsa dengan bangsa lain.
b. Memahami budaya orang lain akan memperkaya budaya sendiri.
3. Pendidikan Internasional dalam Inter Cultural Education
Konsep pendidikan Intercultural di negara-negara yang menganut konsep demokratis seperti Amerika Serikat dan Kanada, bukan hal yang baru lagi. Mereka telah melaksanakannya khususnya dalam upaya melenyapkan diskriminasi rasial antara orang kulit putih dan kulit hitam, yang bertujuan memajukan dan memelihara integritas nasional.
Intercultural secara etimologi marak digunakan pada tahun 1950-an di Kanada. Menurut Longer Oxford Dictionary istilah “multiculturalism” merupakan deviasi dari kata “multicultural”. Kamus ini mengikuti kalimat dari surat kabar Kanada, Montereal Times yang menggambarkan masyarakat montreal sebagai masyarakat “multicultural dan multi-lingual”.
Sedangkan wacana tetang pendidikan Intercultural, secara sederhana pendidikan Intercultural dapat didefinisikan sebagai “pendidikan untuk/tentang keragaman kebudayaan dalam meresponi perubahan demografis dan kultural lingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.
Selanjutnya James Banks (1994) menjelaskan bahwa pendidikan Intercultural memiliki 5 dimensi yang saling berkaitan:
1. Content integration yaitu mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep dasar, generalisasi dan teori dalam mata pelajaran/disiplin ilmu.
2. The knowladge Construction Process yaitu membawa siswa untuk memahami impilkasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran (disiplin).
3. An Equity Paedagogy yaitu menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik siswa yang beragam baik dari segi ras, budaya ataupun sosial.
4. Prejudice reduction yaitu mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajaran mereka.
5. Melatih kelompok untuk partisipasi dalam kegiatan olahraga, berinteraksi dengan seluruh staff dan siswa yang berbeda etnis dan ras dalam upaya menciptakan budaya akademik.
Dalam aktifitas pendidikan manapun, peserta didik merupakan sasaran (onjek) dan sekaligus sebagai subjek pendidikan. Oleh karena itu dalam memahami hakikat peserta didik, para peserta pendidik perl dilengkapi pemahaman tentang ciri-ciri umum peserta didik.
Setidaknya secara umum peserta didik memiliki empat ciri yaitu;
1. Peserta didik dalam keadaan sedang berdaya, maksudnya ia dalam keadaam berdaya untuk menggunakan kemampuan, kemauan dan sebagainya
2. Mempunyai keinginan untuk berkembang ke arah dewasa.
3. Peserta didik mempunyai latar belakang yang berbeda.
4. Peserta didik melakukan penjelajahan terhadap alam sekitarnya dengan potensi-potensi dasar yang dimiliki secara individu.
Menurut Tilaar, pendidikan Intercultural berawal dari berkembangnya gagasan dan kesadaran tentang “intrekultralisme” seusai perang dunia II. Kemunculan gagasan dan kesadaran “interkulturalisme” ini selian terkait dengan perkembangan politik internasional menyangkut HAM, kemerdekaan dari kolonialisme, dan diskriminasi rasial dan lain-lain, juga karena meningkatnya pluralisme di negara-negara Barat sendiri sebagai akibat dari peningkatan migrasi dari negara-negara baru merdeka ke Amerika dan Eropa.
Di Indonesia pendidikan Intercultural relatif baru dikenal sebagai suatu pendekatan yang dianggap lebih sesuai bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, terlebih pada masa otonomi dan desentralisasi yang baru dilakukan. Pendidikan Intercultural yang dikembangkan di Indonesia sejalan pengembangan domokrasi yang dijalankan sebagai counter terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah. Apabila hai itu dilaksanakan dengan tidak berhati-hati justru akan menjerumuskan kita ke dalam perpecahan nasional. Model lainnya adalah pendidikan Intercultural tidak sekedar merevisi materi pembelajaran tetapi melakukan reformasi dalam sistem pembelajaran itu sendiri.
Affirmative action dalam seleksi siswa sampai rekrumen pengajar di Amerika adalah salah satu strategi untuk membuat perbaikan ketimpangan struktural terhadap kelompok minoritas. Contoh yang lain adalah model “sekolah pembauran” Iskandar Muda di Medan yang memfasilitasi interaksi siswa dari berbagai latar belakang budaya dan menyususn program anak asuh lintas kelompok. Di Amerika Serikat bersamaan dengan masuknya wacana Intrecultural, dilakukan berbagai lokakarya di sekolah-sekolah maupun di masyarakat luas untuk meningkatkan kepekaan sosial, toleransi dan mengurangi prasangka antar kelompok.
Jadi dapat dipahami inti masyarakat adalah kumpulan besar individu yang hidup dan bekerja sama dalam masa relatif lama, sehingga individu-individu dapat memenuhi kebutuhan mereka dan menyerap watak sosial. Kondisi itu selanjutnya membuat sebagian mereka menjadi komunitas terorganisir yang berpikir tentang dirinya dan membedakan ekstensinya dari ekstensi komunitas.
Dari sisi lain, apabila kehidupan di masyarakat berati interaksi antara individu dan lingkungan sosialnya. Maka yang menjadikan pembentukan individu tersebut adalah pendidikan atau dengan istilah lain mayarakat pendidik.
4. Pendidikan Internasional dan Pertukaran Siswa/Mahasiswa
Program pertukaran mahasiswa (studentexchenge) merupakan salah satu program dari pemerintahan Jepang dalam mengembangkan promosi perguruan tingginya kepada masyarakat dunia. Indonesia merupakan salah satu negara yang dijadikan tujuan promosi tersebut. Pemerintahan Jepang banyak menawarkan program student exchange kepada perguruan-perguruan tinggi yang ada di Indonesia diantaranya adalah ITB, IPB, UGM, dan lain-lain.
Untuk perguruan tinggi ITB,pada khususnya banyak program yang ditawarkan yang menyangkut program pertukaran mahasiswa ini diantaranya adalah, Japanese Universities Study of Sience and Technology (JUSST), yang ditawarkan oleh The University of Electro Communications (UEC), yang setiap tahunnya sekitar 4 orang mahasiswa yang diikutsertakan dalam program ini, Young Scientist Exchange Program (YSEP) dan TATO yang ditawarkan Tokyo Institute of Technology dengan jumlah 2 orang untuk YSEP san satu orang untuk program TATO, serta program pertukaran mahasiswa yang khusus perdepartement seperti Teknik Geodesi, Teknik Kimia, Teknik Elektro dan yang lainnya, yang hampir setiap tahun mengirimkan salah satu mahasiswanya untuk mengikuti program pertukaran mahasiswa tersebut.
Khusus untuk Tehnik Kimia ada seorang dosen yang langsung menjalin kerjasama dengan salah satu perguruan tinggi di Jepang, yang salah satu bimbingannya akan dikirim selama setahun ke jepang. Mengenai beasiswa yang diperoleh hampir seluruh peserta program pertukaran mahasiswa ini memperoleh beasiswa dari AIEJ (Association of International Education Japan) sebesar 80.000 yen, dengan uang akomodasi pada awal kedatangan 25.000 yen. Adapun cara untuk mengetahui kegiatan ini bermacam-macam, untuk program JUSST di pengseleksian pesertanya diselenggarakan oleh UEC sendiri, jadi para calon peserta hanya mengirim dokumen yang diperlukan kepada Internasional Student Office (ISO) di ITB, dan ISO yang akan mengirim ke ISO-UEC.
Dokumen yang paling ditekankan dan paling berpengaruh dalam penilaiannya adalah indeks Prestasi.Untuk peserta program pertukaran mahasiswa, karena beasiswanya yang relatif sedikit, dan ini merupakan program pertukaran mahasiswa yang notabene bukan hanya untuk belajar bidangnya saja, tapi juga meliputi pembelajaran mengenai budaya dan yang lainnya, maka disarankan membuat proposal pribadi sebagai pemenuhan kebutuhan anggaran pribadi selama hidup di Jepang, terlebih terhadap orang yang hidup di daerah Tokyo, dengan beasiswa tersebut diperhitungkan tidak akan cukup untuk hidup di Tokyo, terkecuali kalau tinggal di Internasional House.
5. Pelaksanaan Pendidikan Intenasional di Indonesia
Belum hilang dari ingatan kita tentang peledakan bom di depan kedubes Australia 10 september lalu, kembali kita didera oleh peledakan bom yang meski bukan terjadi di negara kita, namun meledaknya persis di depan Kedubes RI di Paris. Kembali nama Indonesia dikaitkan dengan “bom”. Mungkin juga ada yang mengkaitkannya dengan isu terorisme di Indonesia. Lantas apa hubungannya dengan judul tulisan ini? Jelas ada kainnya, karena siapapun pelaku pemboman itu pastilah orang yang terdidik. Entah dengan sistem pendidikan yang bagaimana, dan dengan tujuan pendidikan yang seperti apa.
Dalam four pillars of education in UNESCO, ada 4 dasar pendidikan, yakni: Learning to know (Belajar untuk mengetahui); Learning to Do (Belajar untuk bertindak); Learning to Be (Belajar untuk menjadi (seseorang); dan Learning to Live Together (Belajar untuk hidup bersama). Empat dasar ini adalah pegangan kita dalam menerapkan semua kurikulum pendidikan di negara kita. Dengan belajar sendiri (membaca maupun berdiskusi) maupun mengunjungi sekolah-sekolah yang sudah menerapkan KBK, maka diharapkan semua pendidik memiliki pemahaman serupa tentang KBK. Sehingga ‘pendidikan internasioanal’ bukan sekedar di kulit belaka, namun bisa diterapkan ke dalam semua level sekolah yang ada di seluruh nusantara.
Dalam pelaksanaannya, di Indonesia Pendidikan internasional berupa :
1) Transfer of teknologi
2) Pertukaran pemuda dan petani ke Negara lain.
3) Penyetaraan pendidik dan peserta didik keluar negeri
4) Kerja sama Pendidikan dengan universitas di negara lain/ kerja sma kelembagaan.
6. Implikasi Masalah dalam Pendidikan Internasional
Hampir tidak ada satu pun lembaga pendidikan kita di Kalimantan Selatan yang bertaraf internasional. Dari tingkat taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, semua masih bertaraf nasional, bahkan lokal. Hampir seluruh sekolah kita di daerah ini belum dapat disebut modern, bahkan cenderung masih bersifat tradisional. Padahal memasuki era Vglobal dan pasar bebas, seharusnya sudah ada lembaga pendidikan kita di daerah ini yang mampu bersaing secara internasional dan global, sekurang-kurangnya ada satu TK sampai SMA atau sederajat. kendalanya yang klasik adalah keterbatasan dana, fasilitas, sumberdaya manusia dan sarana lainnya belum siap untuk mendirikan sekolah bertaraf internasional.
Harus diakui, sekolah bertaraf internasional memerlukan tidak sedikit SDM pendidikan yang profesional, dana besar dan fasilitas lengkap. Memang, kualitas pendidikan yang kompetitif membutuhkan biaya tinggi. Kita kurang yakin, apabila di Kalsel tidak dapat didirikan sekolah bertaraf internasional. Mengapa? Pertama, selama ini untuk keperluan studi banding, ziarah/umroh, pembangunan fisik dan sebagainya, pejabat daerah, tokoh masyarkat dan pengusaha dapat saja mengeluarkan dana yang sangat besar. Kedua, sumberdaya alam, seperti tambang, intan dan batu bara, hutan dan perkebunan di daerah ini menghasilkan uang miliaran, bahkan triliunan rupiah. Ketiga, manajemen dan operasional lembaga pendidikan yang ada di daerah ini sudah mempunyai master plan (rencana jangka panjang), visi, misi dan motivasi untuk menuju kualitas internasional. Keempat, SDM daerah ini cukup potensial. tidak sedikit penduduk Kalsel lulusan Universitas di luar negeri, baik dari Amerika Serikat,Kanada, Eropa, maupun Mesir, Arab saudi, Malaysia, dan sebagainya. Kelima, generasi muda kita khususnya siswa dan mahasiswa di daerah tidak sedikit memiliki kecerdasan dan potensial yang mampu bersaing di tingkat internasional.
Dengan melihat faktor yang sangat potensial tersebut, sungguh ironis apabila belum ada sekolah yang bertaraf internasional di daerah ini. Kelima faktor itu sebenarnya merupakan modal untuk dapat mengembangkan sekolah bertaraf internasional. Sayangnya potensi itu tidak diarahkan ke sana, atau mungkin sebagian mereka memang tidak atau belum memiliki kepedulian untuk meningkatkan mutu SDM secara signifikan dan relevan di era globalisasi sekarang.
Selain itu dengan adanya pendidikan Internasional seperti itu maka akan timbul hal-hal sebagai berikut:
1) Biaya yang dibutuhkan dalam pelaksanakan Transfer Of Teknology
2) Penguasaan bahasa negara setempat
3) Lamanya masa studi dan perbedaan program pendidikan
4) Tenaga akademik berkualitas seperti yang diharapkan
5) Sasaran dan kerja sama yang signifikan/ relevan
7. Solusi terhadap Permasalahan Pendidikan Internasional
Banyak alternatif untuk mengembangkan sekolah kita menjadi bertaraf internasional. Satu, melalui APBN/APBD, dengan meningkatkan anggaran 20 persen atau lebih tiap tahun dan dalam waktu dua atau tiga tahun, level sekolah dapat ditingkatkan. Dua, adanya kerjasama di antara pejabat, pengusaha dan tokoh masyarakat sebagai donatur untuk pembiayaannya. Tiga, menjalin kerjasama dengan yayasan atau pengelolaan di luar negeri yang peduli pendidikan tetapi tidak mengikat.
Pejabat, pengusaha, pakar dan tokoh masyarakat di daerah yang peduli pentingnya pendidikan bermutu tinggi, diharapkan dapat membuka mata terhadap kenyataan dan perkembangan yang terjadi. Generasi muda di daerah ini khususnya pelajar dan mahasiswa tidak perlu putus asa. Paling sedikit ada secercah asa (harapan) untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran dan bersaing secara global. Pertama, adanya wacana dan sedikit komitmen dari pemerintah untuk meningkatkan anggaran pendidikan minimal 20 persen. Untuk itu, kita harus terus menerus berjuang secara sungguh-sungguh namun santun, tanpa tindakan anarkis agar peningkatan itu segera menjadi kenyataan. Kedua, adanya rencana penerapan pembelajaran dengan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) di semua jenis dan jenjang pendidikan. Dengan penerapan kurikulum ini dimungkinkan siswa/mahasiswa yang mempunyai keinginan kuat untuk berprestasi, dapat memperoleh kesempatan. Pembelajaran dengan KBK, peserta didik diberikan kesempatan untuk berkembang; seperti penguasaan bahasa asing, matematika, IPA, IPS, Olahraga, Kesenian dan Sebagainya. selama sekolah, khususnya kepada sekolah dan guru benar-benar profesional maka siswa/mahasiswa akan dapat mengembangakan diri untuk dapat bersaing, baik tingkat nasional maupun internasional. Ketiga, adanya rencana pengembangan empat SMA di Kalsel untuk memiliki kelas bertaraf internasional, yaitu dua SMA di Banjarmasin dan masing-masing satu SMA di Banjarbaru dan Kabupaten banjar. Kendati masih pada tingkat persiapan atau usulan dan keterbatasan sumberdaya yang ada untuk tahun 2005/2006, paling tidak ini merupakan peluang emas bagi sebagian kecil peserta didik didaerah ini untuk berkompetisi mendapatkan kesempatan itu.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pendidikan internasional utamanya dalam transfer of Teknology, yaitu:
1. Tidak menjadikan satu bangsa terus menerus bergantung pada bangsa yang lain.
2. Sesuai dengan budaya sendiri/tidak bertentangan dengan budaya sendiri.
3. Tidak bertentangan dengan nilai sosial, mencegah teknologi yang bertentangan dengan nilai-nilai kita/agama yang kita anut.
4. Tidak membuat golongan elit menjadi penguasa bagi golongan bawah.
5. Pendidikan bangsa yang memadai bagi yang mau mengikuti pendidikan di negar-negara tertentu.
6. Biaya hidup dan tunjangan pendidikan yang cukup bagi peserta pendidikan lanjutan.
Komentar
Posting Komentar