Langsung ke konten utama

Pendidikan Seks [PGSD UNU NTB]

BAB XI
PENDIDIKAN SEKS





A. Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari uraian materi pada bab ini, maka mahasiswa diharapkan dapat:
1. Menjelaskan asumsi dan konsep pendidikan seks
2. Menjelaskan pentingnya pendidikan seks di keluarga
3. Menjelaskan peranan sekolah dalam pendidikan Sseks
4. Menjelaskan tujuan pendidikan seks
5. Mengidentifikasi hubungan antara remaja dan hubungan seksual pranikah
6. Mengidentifikasi hubungan antara pacaran dan pendidikan seks
7. Mengidentifikasi keterkaitan antara remaja, pornografi dan pendidikan Seks
8. Menjelaskan pentingnya pendidikan seks dan kespro masuk dalam kurikulum


B. Pendahuluan
Dewasa ini, kehidupan seks bebas telah merebak ke kalangan kehidupan remaja dan anak. Hal ini dapat kita semak melalui penuturan yang disampaikan oleh Mestika (1996) yang merangkum hasil penelitian para pengamat masalah sosial remaja di beberapa kota besar. Hasil penelitian tersebut antara lain: Sarwono (1970) meniliti 117 remaja di Jakarta dan menemukan bahwa 4,1% pernah melakukan hubungan seks. Beberapa bulan kemudian, Eko (1983) meneliti 461 remaja, dan dari penelitian ini diperoleh data bahwa 8,2% di antaranya pernah melakukan hubungan seks dan 10% di antaranya menganggap bahwa hubungan seks pra nikah adalah wajar.
Data yang ada mengenai kejahatan seks, selama tahun 1995 terjadi 12 kasus kejahatan seks yang dilakukan oleh orang tua kandung maupun tiri, 7 kasus dilakukan oleh saudaranya, 4 kasus oleh guru dan oleh teman atau kenalan sebanyak 49 kasus. Keadaan seperti itu jelas sangat memprihatinkan. Kebutuhan akan pemahaman yang benar tentang hakikat seksualitas manusia di kalangan remaja kian mendesak untuk dipenuhi jika peran massa dalam mengkomunikasikan pesan-pesannya juga diperhatikan dengan seksama. 
Hal itu perlu mendapat perhatian, ketika media massa dalam pesannya sering melecehkan seksualitas manusia walaupun tujuan utama dari media massa adalah semata-mata untuk menarik minat konsumen terhadap suatu barang dagang. Kartono (1994) menyarankan agar format penyususnan dan penyajian di media massa diatur, sehingga materi maupun pesan yang disampaikan benar-benar bermuatan nilai-nilai pendidikan. Informasi yang benar dapat diartikan melalui pendidikan seks. Pendidikan seks ini dapat diberikan oleh orang tua ataupun pihak sekolah.


C. Uraian Materi
1. Asumsi dan Konsep Pendidikan Seks
Pendidikan seks merupkan salah satu aspek pendidikan SDM yang perlu mempunyai pengkajian. Syamsuddin mendefinisikan pendidikan seks sebagai usaha untuk membimbing seseorang agar dapat mengerti benarbenar tentang arti kehidupan seksnya. Sehingga dapat mempergunakannya dengan baik selama hidupnya. Dr. A. Nasih Ulwan menyebutkan bahwa pendidikan seks adalah upaya penyadaran pengajaran dan penerangan tentang masalah-masalah seks yang diberikan kepada anak agar ia mengerti masalah-masalah yang berkenaan dengan seks, naluri dan perkawinan,sehingga jika anak telah dewasa dan dapat memahami unsur-unsur kehidupan ia telah mengetahui masalah-masalah yang di halalkan dan di haramkan bahkan mampu menerapkan tingkah laku islami sebagai akhlak, kebiasaan, dan tidak mengikuti syahwat maupun cara-cara hedonistik.
Perkembangan masyarakat (social Development), Penyusunan Nilai (Social Detlook), Penemual ilmiah (Sociativitas), dsb. selama ini turut memberikan dampak bila hubungan dan pergaulan bebas sejenis yang mulai jauh dari yang diharapkan. Sementara itu pendidikan seks di sekolah selama ini masih dianggap tabu bahwa pendidikan seks di dalam masyarakat dan di rumah tangga selama ini juga belum punya arti apa-apa. Agaknya kebutuhan akan pendidikan seks yang diberikan di sekolah dan di rumah semakin hari semakin penting.
 Apa alasan dan bagaimana solusinya pendidikan seks itu agar perlu dikembangkan asumsi berikut ini:
a. Manusia umumnya Homo Seksualitas dalam arti selalu mendekati berhubungan dan mendekati lawan jenis.
b. Seks adalah suatu anugrah bagi manusia dan harus dipendang sebagai kebijakan manusia dan kebijakannya itu sendiri.
c. Cita dan kasih sayang adalah satu sifat hakekatnya pendidikan seks.

Ada beberapa konsepsi pelaksanaan pendidikan seks:
a. Menurut S.Freud manusia pada hakekatnya adalah Homo artinya dalam berbuat selalu terdorong dari dalam. Apakah yang terdorong dari dalam itu? Bagi Freud adalah libido seksual akan dorongan seks.
b. Dorongan seks (Libido) itu sudah ada sejak manusia itu selagi bayi bagi prilaku bayi mengisap jari, membawa apa saja yang dipegangnya kemulut, bermain dengan sendiri, merasa senang membuka baju dan mempertontonkan auratnya kepada orang lain, hal tersebut dapat diterjemahkan/diklasifikasikan dari libido sekaligus itu. Perkembangan libido seksualitas dari anak ke orang dewasa merupakan perkembangan alami.
c. Freud membedakan seks pada anak dan seks pada orang dewasa sbb: “bahwa seks pada anak dalam arti sesungguhnya belum”. Seks pada anak barulah dalam arti kelunakan atau dalam arti erotis (rasa senang). Misalnya arti merasa senang dan puas mengisap jarinya bahkan tidur nyenyak karenanya. Sedang anak akan merasa sedang mempertontonkan kepada oarng lain.
d. Bagi Freud semua itu merupakan hal yang penting janganlah sampai mengalami siksa (terikat pada keadaan lampau). Contoh fiksasi itu makanya orang dewasa berlebihan menanamkan fiksasi pada net. Orang dewasa/perempuan yang senang berpakaian serba modern yang menanamkan fiksasi pada fase genetika, dsb.
e. Menurut W. Sterm (Paedagago Belanda) cinta sejati adalah cinta seorang ibu terhadap anaknya. Cinta terhadap manusia lainnya bukanlah cinta sejati, karena masih dicampur oleh unsur biologis.
f. Pendidikan terhadap seks terdahulu pula bertumbuh pada pemenuhan kebutuhan terhadap seks itu, sehingga kita memiliki satu konsep pendidikan seks yang kuat dan jelas apabila pendidikan seks itu hendaknya dilaksanakan di sekolah.
g. Salah satu prinsip pendidikan mendasar tentang seks tadi, contoh dalam pendidikan seks itu semua masyarakat perlu diadakan. Adapun yang perlu dicegah adalah masyarakat yang bersifat keras, jadi pendidikan seks yang blak-blakan tidak sesuai dengan kodrat awal (kelunakan).
h. Oleh karenanya strategi pendidikan seks yang tepat bukan I adone you help, expose you. Jadi tidak membiarkannya secara terbuka melainkan lebih mendalam dengan perasaan-perasaan yang jelas.


2. Pendidikan Seks di Keluarga
Membuka komunikasi mengenai seksualitas harus dijalin sejak kecil memulai pendidikan seks dalam keluarga. Seks juga dilihat bukan sebagai sesuatu yang tabu, tetapi merupakan bagian dari kehidupan manusia dalam proporsi yang wajar. Bila seks masih dianggap tabu, maka akan banyak ditemukan salah pengertian dan problema seksual yang terselubung. Akibantnya timbul berbagai masalah seksual dan kejiwaan. “Korban di kalangan remaja akibat hubungan seks bebas sangat banyak. 
Hal ini selain disebabkan kurangnya informasi tentang seks, juga karena remaja sangat mudah mengatakan I love you. Jadi kurang memadainya penerangan seksual pada remaja bisa menyebabkan masalah seksual pada mereka, “ ungkap psikiater Bagian Psikiatri FK Unpad/RSHS, Teddy Hidayat, pada seminar sehari Kesehatan Reproduksi di Aula Dinas kesehatan Jabar yang diadakan Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) Cabang Bandung /Jabar dalam rangka Pertemuan Ilmiah Tahunan ke-XIV POGI, Sabtu (22/5). Menurut dia, dalam usaha mengerti perubahan pada diri sendiri, remaja berusaha mencari keterangan ke sanasini, tetapi sering usahanya tidak berhasil. Akibatnya keterangan didapat dari sumber yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Misalnya dari bacaan porno, blue film, dll.

3. Peranan Sekolah dalam Pendidikan Seks

Pada dasarnya pendidikan seks yang terbaik adalah yang diberikan oleh orang tua sendiri. Diwujudkan melalui cara hidup orang tua dalam keluarga sebagai suami istri yang bersatu dalam perkawinan (Aryatmi, 1985; Tukan; 1989; Howard, 1990). Pendidikan seks ini sebaiknya diberikan dalam suasana akrab dan terbuka dari hati ke hati antara orang tua dan anak. Kesulitan yang timbul kemudian adalah apabila pengetahuan orang tua kurang memadai (secara teoritis dan objektif) menyebabkan sikap kurang terbuka dan cenderung tidak mendapatkan informasi seks yang tidak sehat.
Tentang hal ini Davis (1957) menyimpulkan hasil penelitian sebagai berikut: informasi seks yang tidak sehat pada usia remaja mengakibatkan remaja terlibat dalam kasus-kasus berupa konflik-konflik dan gangguan mental, ideide yang salah dalam ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan seks (Bibby, 1957). Oleh karena itu, pendidikan seks di sekolah merupakan komplemen dari pendidikan seks di rumah. Hal ini pernah ditegaskan oleh Pusat Kehidupan Keluarga di USA (Killander, 1971). 
Peran sekolah dalam memberikan pendidikan seks harus dipahami sebagai perlengkapan pengetahuan dari rumah dan situasi lain yang berupaya keras untuk mendidik anak-anak tentang seksualitas dan bukan berarti bahwa sekolah mengambil porsi orang tua (Killander, 1971; Tukan, 1992).

Tujuan pendidikan seks di sekolah seperti yang diungkapkan oleh Federasi Kedidupan Keluarga Internasional ialah:
1. Memahami seksualitas sebagai bagian dari kehidupan yang esensi dan normal.
2. Mengerti perkembangan fisik dan perkembangan emosional manusia.
3. Memahami dan menerima individualitas pola perkembangan pribadi.
4. Memahami kenyataan seksualitas manusia dan reproduksi manusia.
5. Mengkomunikasikan secara efektif tentang pertanyaanpertanyaan yang berkenaan dengan seksualitas dan prilaku sosial.
6. Mengetahui konsekuensi serta pribadi sosial dari sikap seksual yang tidak bertanggung jawab.
7. Mengembangkan sikap tanggung jawb dalam hubungan interpersonal dan prilaku sosial.
8. Mengenal dan mampu mengambil langkah efektif terhadap penyimpangan prilaku seksual.
9. Merencanakan kemandirian di masa depan, sebuah tempat dalam masyarakat, pernikahan dan kehidupan keluarga.

Bagi guru yang memberikan pendidikan seks, Killander (1971) mengungkapkan bahwa guru mempunyai peran yang besar, yaitu:
1. Membantu menyeleksi sasaran sosialitas dan pribadi yang dapat dicapai oleh anak didik.
2. Membantu siswa untuk menyadari bahwa sarana tersebut sesuai untuk mereka dan membimbing mereka untuk menerimanya sebagai bagian dari hidup.
3. Membimbing mereka untuk memilih aktivitas-aktivitas dan pengalaman yang baik dalam merencanakan masa depan.

Oleh karena itu, Flake-Hobson (Joice, 1996) menyatakan bahwa pendidikan seks di sekolah harus meliputi pengajaran antara lain:
1. Mengizinkan anak untuk berperan sesuai dengan jenis kelamin dalam ekspresi mereka, kepribadian mereka dan interaksi mereka dengan teman-temannya di kelas.
2. Mengajak siswa untuk berdiskusi mengenai hal-hal yang berkenaan dengan sopan santun terhadap lawan jenis.
3. Memperkenalkan siswa terhadap perkembangan peran seks. Misalnya seorang perempuan akan menjadi siswa yang berstatus ibu rumah tangga atau istri.
4. Menyediakan akat-alat audio visual mengenai perkembangan peran seks kepada siswa dan mengajak mereka untuk berdiskusi.
5. Memperkenalkan siswa kepada bermacam-macam peran seks antara laki-laki dan perempuan.

Tukan (1993) menguraikan materi pendidikan seks di sekolah sebagai berikut:
1. Siswa SD kelas 5 dan 6
Tentang ciri seksualitas primer dan sekunder serang pria, proses terjadinya mimpi basah, menjaga kebersihan kelamin, memakai bahasa yang baik dan benar tentang seks, kepribadian seorang siswa.
2. Siswa SLTPK kelas 2 dan 3 Memperluas apa yang telah dibicarakan di SD kelas 5 dan 6,yakni identitas remaja, pergaulan, dari mana kau berasal, proses melahirkan, dan tanggung jawab moral dalam pergaulan.
3. Siswa SLTA kelas 1 dan 2
Mendalami lagi apa yng telah diberikan di SD dan SLTP yakni secara psikologi pria dan wanita, paham keluarga secara sosiologi, masalah pacaran dan tunangan, komunikasi, pilihan cara hidup menikah atau membujang, pergaulan pria dan wanita, tubuh manusia yang bermakna, penilaian etis yang bertanggung jawab sekitar masalah-masalah seksual dan perkawinan.
Dengan demikian, peranan sekolah dalam memberikan pendidikan seks merupakan suatu tanggung jawab moral bagi perkembangan anak didik. peranan sekolah harus dimengerti bahwa sekolah merupakan suatu institusi yang bersifat komplomenter dan membantu orang tua dalam memperlancar tugas dan peranan orang tua terutama dalam menanamkan sikap dan prilaku seksual anak terhadap hakikat seksualitas manusia.

4. Tujuan Pendidikan Seks
Tujuan pendidikan seks sesuai usia perkembangan pun berbedabeda. Seperti pada usia balita, tujuannya adalah untuk memperkenalkan organ seks yang dimiliki, seperti menjelaskan anggota tubuh lainnya, termasuk menjelaskan fungsi serta cara melindunginya. Jika tidak dilakukan lebih awal maka ada kemungkinan anak akan mendapatkan banyak masalah seperti memiliki kebiasaan suka memegang alat kemaluan sebelum tidur, suka memegang payudara orang lain atau masalah lainnya.

Secara garis besarnya, pendidikan seks diberikan sejak usia dini (dan pada usia remaja) dengan tujuan sebagai berikut:
1. Membantu anak mengetahui topik-topik biologis seperti pertumbuhan, masa puber, dan kehamilan
2. Mencegah anak-anak dari tindak kekerasan.
3. Mengurangi rasa bersalah, rasa malu, dan kecemasan akibat tindakan seksual.
4. Mencegah remaja perempuan di bawah umur dari kehamilan.
5. Mencegah remaja di bawah umur terlibat dalam hubungan seksual Mengurangi kasus infeksi melalui seks.
6. Membantu anak muda yang bertanya tentang peran laki-laki dan perempuan di masyarakat.

 Adapun nilai-nilai pendidikan seks berdasarkan umur anak, dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Umur 3-5 tahun
Pada rentang umur ini, sebaiknya diajarkan mengenai organ tubuh dan fungsi masing-masing organ tubuh,jangan ragu juga untuk memperkenalkan alat kelamin si kecil. Saat yang paling tepat untuk mengajarkannya adalah di saat sedang memandikannya. Diharapkan untuk hindari penyebutan yang dianggap tidak sopan di masyarakat untuk menyebut alat kelamin yang dimilikinya. Misalkan seperti vagina atau penis, jangan diistilahkan dengan kata lain seperti “apem” atau “burung”. Ajarkan juga kepada anak bahwa seluruh tubuhnya, termasuk alat kelaminnya, adalah milik pribadinya yang harus dijaga baik-baik.
Umur 6-9 tahun

Di rentang umur ini, si kecil diajarkan mengenai apa saja yang harus dilakukan untuk melindungi dirinya sendiri. Orang tua bisa mengajarkan anak menolak untuk membuka pakaian bahkan jika ada imbalan sekalipun atau menolak diraba alat kelaminnya oleh temannya. Selain itu, di rentang umur ini, Anda bisa menggunakan hewan tertentu yang tumbuh dengan cepat dan terlihat jelas perbedaan jenis kelaminnya (seperti: anak ayam) di saat bertumbuh dewasa untuk mengajarkan mengenai perkembangan alat reproduksi. Ajaklah anak anda untuk turut mengamati perkembangannya.

Umur 9-12 tahun

Berikan informasi lebih mendetail apa saja yang akan berubah dari tubuh si anak saat menjelang masa puber yang cenderung untuk berbedabeda di setiap individu. Ajarkan kepada anak bagaimana menyikapi menstruasi ataupun mimpi basah yang akan mereka alami nanti sebagai bagian normal dari tahap perkembangan individu. Pada umur 10 tahun, sebelum menjelang masa puber, Anda sudah bisa memulai topik mengenai kesehatan alat kelamin. Pastikan juga pada anak Anda, jika dia mengikuti semua peraturan kesehatan ini, maka mereka tak perlu banyak khawatir.

Umur 12 -14 tahun

Dorongan seksual di masa puber memang sangat meningkat, oleh karena itu, orang tua mengajarkan apa itu sistem reproduksi dan bagaimana caranya bekerja. Penekanan terhadap perbedaan antara kematangan fisik dan emosional untuk hubungan seksual juga sangat penting untuk diajarkan. Beritahukan kepada anak segala macam konsekuensi yang ada dari segi biologis, psikologis, dan sosial jika mereka melakukan hubungan seksual. Orang tua selain mengajarkan keterbukaan komunikasi dengan anak terutama dalam membicarakan seksualitas, juga perlu menambahkan keuntungan menghindari aktivitas seksual terlalu dini sebelum mencapai masa dewasa.

5. Remaja dan Hubungan Seksual Pranikah

Remaja kota kini semakin berani melakukan hubungan seksual pranikah. Nampaknya hal itu berkaitan dengan hasil sebuah penelitian, 10- 12% remaja di Jakarta pengetahuan seksnya sangat kurang. Ini mengisyaratkan pendidikan seks bagi anak dan remaja secara intensif terutama di rumah dan di sekolah, semakin penting. Pengetahuan yang setengah-setengah justru lebih berbahaya ketimbang tidak tahu sama sekali. Kata-kata bijak ini nampaknya juga berlaku bagi para remaja tentang pengetahuan seks kendati dalam hal ini ketidaktahuan bukan berarti lebih tidak berbahaya. Data yang dikumpulkan dr. Boyke, Dian Nugraha, SDOG, ahli kebidanan dan penyakit kandungan pada RS Dharmais, menunjukkan 16-20% dari remaja yang berkonsultasi kepadanya telah melakukan hubungan seks pranikah. Dalam catatannya jumlah kasus itu cenderung naik; awal tahun 1980-an angka itu sekitar 5-10%.

6. Pacaran dan Pendidikan Seks
Pemberian pengetahuan seks mesti di rumah dilakukan sejak dini dan dimulai dengan perilaku keseharian anak-anak. Ketika masih anak-anak misalnya, berikan pengertian kepada mereka agar tidak keluar dari kamar mandi sambil telanjang, menutup pintu kamar mandi ketika sedang mandi, mengetuk pintu terlebih dahulu sebelum masuk kamar orang tua. Dalam hal ini dibutuhkan komunikasi lebih terbuka antara orang tua dan anak. Melalui komunikasi, yang acap kali banyak diabaikan perannya, orang tua dapat memasukkan hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan.
Misalnya, batas mereka boleh bermesraan dan apa konsekuensinya kalau batas itu dilanggar. Kepercayaan dari orang tua akan membuat mereka lebih bertanggung jawab. Berpacaran secara sembunyi-sembunyi akibat diberi kepercayaam justru tidak menguntungkan. “ingat, kasus-kasus kehamilan pranikah umunya dilakukan oleh mereka yang back street, kata Boyke. “mungkin juga akibat hubungan dengan orang tua kurang akrab atau orang tua terlalu kaku.”
 Penjelasan yang baik mampu membuka mata mereka betapa melakukan hubungan seksual pranikah itu tidak ada untungnya. Ini misalnya terbukti ketika dr. Boyke membagikan kuesioner kepada peserta seminar remaja. Jawaban mereka sebelum dan sesudah mendengarkan ceramah bertolak belakang. Sebelum seminar, mereka rata-rata menyetujui hubungan seksual sebelun nikah. Tapi sesudahnya 90% peserta menyatakan tidak setuju. Juga terungkap, mereka setuju adanya pendidikan seks, hanya tidak tahu ke mana memperolehnya.
Pendidikan seks di sekolah, demikian Yulia dan Paat, hendanya tidak terpisah dari pendidikan pada umumnya, dan bersifat terpadu. Ia bisa dimasukkan ke dalam pelajaran ilmu Biologi, kesehatan, moral dan etika secara bertahap dan terus menerus. Mereka mensyaratkan pendekatan pada pendidikan moral, meski tidak perlu sedetail pendidikan agama, agar pendidikan seks diterima murid sebagai suatu ilmu yang tidak untuk dipraktekkan sebelum waktunya.
Sekali waktu penyuluhan seks juga perlu diadakan. Misalnya, soal menghadapi masa haid dan mimpi basah bila diberikan kepada anak kelas VI SD, proses terjadinya bayi (spermatozoa bertemu dengan sel telur) mulai diberikan kepada murid SLTP. Selanjutnya masalah kebebasan seks, alat kontrasepsi sampai hubungan seks (bukan tekniknya) diberikan kepada anak SLTA.


7. Remaja, Pornografi dan Pendidikan Seks
Salah satu televisi swasta beberapa waktu lalu menanyangkan kasus pemerkosaan yang dilakukan sekelompok oknum pelajar SLTP dan SLTA secara beramai-ramai di wilayah Jawa Timur. Dari hasil pemeriksaan aparat, perilaku memalukan ini akibat pengaruh minuman keras dan sering menonton VCD porno. Kasus-kasus kekerasan seksual, kehamilan tidak dikehendaki (KTD) pada remaja dan sejenisnya, tampaknya masih belum banyak diangkat ke permukaan sehingga “seolah-olah” maasalah ini dianggap “kasuistik” yang tidak penting untuk dikaji lebih jauh. Padahal, timbulnya kasus-kasus seputar KTD remaja, kekerasan seksual, penyakit menular seksual (PMS) pada remaja bahkan sampai aborsi, tidak lepas dari (salah satunya) minimnya pengetahuan tentang kesehatan reproduksi remaja.


8. Pendidikan Seks = Pornografi?
Pendidikan kesehatan reproduksi remaja sebagai salah satu upaya untuk “mengeremV” kasus-kasus itu, sampai saat ini masih saja diperdebatkan (bahkan banyak yang enggak setuju). Sementara, pornografi tiap saat ditemui remaja. Beberapa kajian menunjukkan, remaja haus akan informasi mengenai persoalan seksualitas dan kesehatan reproduksi. Pendidikan seksualitas masih dianggap sebagai bentuk pornografi.
Padahal, dalam gambaran penelitian yang pernah dilakukakan oleh Pusat Studi Seksualita PKBI-DIY di wilayah Yogyakarta pada pertengahan tahun 2000 terhadap persepsi remaja dan guru (mewakili orang tua), dianggap itu tidak sepenuhnya terbukti. Selama ini, pendidikan seks dipersepsikan sebagai sebuah hal yang sifatnya pornografi yang tidak boleh dibicarakan, apalagi oleh remaja. Dari hasil kuesioner menggambarkan, hanya sekitar 14-29 persen (responden guru) yang menyatakan, pendidikan seks sama dengan pornografi dari remaja sendiri anggapan tentang pendidikan seks sama dengan pornografi tidak terbukti (0 persen).


9. Remaja dan Pendidikan Seks
Masih sangat sedikit pihak yang mengerti dan memahami betapa pentingnya pendidikan seksualitas bagi remaja. Faktor kuat yang membuat pendidikan seksualitas sulit diimplementasikan secara formal adalah persolan budaya dan agama. Selain itu, faktor lain yang ikut mempengaruhi adalah kentalnya budaya patriarki yang mengakar di masyarakat. Seksualitas masih dianggap sbagai isu perempuan belaka. 
Pornografi merupakan hal yang ramai dibicarakan kerana berdampak negatif, dan salah satunya upaya membentengi remaja dari pengetahuan seka yang menyesatkan adalah dengan memberikan pendidikan seksualitas yang benar. WHO mnyebutkan ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dari pendidikan seksualitas. Pertama, mengurangi jumlah remaja yaang melakukan hubungan seks sebelum menikah. Kedua, bagi remaja yang sudah melakukan hubungan seksual, mereka akan melindungi dirinya dari penularan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. 
Mengingat rasa ingin tahu remaja yang begitu besar, pendidikan seksualitas yang diberikan harus sesuai kebutuhan remaja, serta tidak menyimpang dari prinsip pendidikan seksualitas itu sendiri. 

Maka pendidikan seksualitas harus memepertimbangkan:
1) Pertama, pendidikan seksualitas harus didasarkan penghormatan hak reproduksi dan hak seksual remaja untuk mempunyai pilihan.
2) Kedua, berdasarkan pada kesetaraan gender.
3) Ketiga, partisipasi remaja secara penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan sekssualitas.
4) Keempat, bukan cuman dilakukan secara formal, tetapi juga nonformal.
Sampai kapankah kita masih terus memperdebatkan persoalan pendidikan seksualitas untuk remaja, sedangkan remaja sebenarnya “diamdiam” sudah mencari informasi yang menyesatkan tentang seks dari pornografi.


10. Pendidikan Seks, Kespro Sebaiknya Masuk Kurikulum
Pertama seputar fungsi organ reproduksi, perilaku seks saat pacaran, infeksi menular seksual (IMS), kehamilan tak dikehendaki (KTD), kontrasepsi, pelecehan seksual, homoseksual, sampai masalah kepercayaan diri sering dilontarkan remaja pada Youth center Perkumpulan Keluarha Berencana Indonesia (PKBI). Isi pertanyaan tersebut menrefleksikan kekurangnya akses mereka pada informasi mengenai kaitan seks dan kesehatan reproduksi (kespro). Padahal, dalam ICPD ( Konferensi kependudukan dan Pembagunan) di Kairi, Mesir, 21994, hak kespro seseorang harus dijamin.” Kata Humas PKBI Yahya Ma’shum. 
Lebih lanjut, Yahya mengatakan, masyarakat hendaknya tidak menilai pendidikan seks atau KIE kespro, seolah-olah menyetujui remaja berbuat seks bebas. Sebab, pelajaran seks justru menanamkan rasa tanggung jawab di kalangan remaja akan seks dan kespronya. Selain itu, lanjunya, program KIE kespro sangat diperlukan sebagai upaya mengurangi penyebaran IMS, sperti HIV/AIDS di kalangan remaja.

Nama : ISNAINI
Nim : 1902060053
Prodi : s1-PGSD
University:Universitas Nahdlatul Ulama Nusa Tenggara Barat
Dosen pengempu:pak Hadi wijaya M,pd.
Makul:Kapita Selekta pendidikan





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sumber Otoritas Pelaksanaan Supervisi [PGSD_UNU_NTB]

Pelaksanaan Supervisi Oleh Kepala Sekolah Dan Pengawas Di Sekolah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelaksanaan supervisi bukan untuk mencari kesalahan guru tetapi pelaksanaan supervisi pada dasarnya adalah proses pemberian layanan bantuan kepada guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan meningkatkan kualitas hasil belajar. Kegiatan supervisi pendidikan sangat diperlukan oleh guru, karena bagi guru yang bekerja setiap hari di sekolah tidak ada pihak lain yang lebih dekat dan mengetahui dari dalam segala kegiatannya, kecuali Kepala Sekolah. Guru merupakan salah satu faktor penentu rendahnya mutu hasil pendidikan. Dalam rangka pelaksanaan program supervisi pendidikan maka harus mencakup semua komponen yang terkait dan mempengaruhi terhadap keberhasilan program supervisi pendidikan. Keberhasilan tersebut dilihat dari komponen perencanaan, implementasi dan dampak dari program supervisi pendidikan. Kepala Sekolah dalam melaksanakan tugas dan...

Struktur kurikulum TPQ Taman Pendidikan Al Qur’an atau TPA

selampang,30 Agustus 2020 Struktur kurikulum TPQ Taman Pendidikan Al Qur’an atau TPA  Struktur kurikulum TPA ini meliputi inti pembelajaran yang dilewati pada jenjang pendidikan untuk 3 tahun atau dalam enam semester. Pada masing masing jenjang ditempuh dengan waktu satu tahun yang mana dinamakan dengan level. Dengan waktu 3 tahun maka level yang ada adalah : -Level A -Level B -Dan level C  Penyusunan untuk struktur kurikulum TPQ Penyusunan untuk struktur kurikulum TPQ didasarkan kepada standar kompetensi lulusan dengan ketentuaan seperti dibawah ini :  Kurikulum TPQ berisi materi pokok dan materi dengan muatan lokal.Untuk materi pokok yaitu Pembelajaran Alquran, ilmu tajwid, ayat pilihan, bacaan sholat, hafalan surah pendek, praktek ibadah, doa serta adab harian, tahsinul kitabah, dan Pengenalan dasar agama Islam. Untuk muatan lokal disesuaikan dengan kondisi masing masing.  Sedangkan untuk materi pokok pada setiap jenjang l...

Budaya Nasional Sebagai Dasar Pendidikan [PGSD_UNU_NTB]

Bab III. Budaya Nasional Sebagai Dasar Pendidikan Kapita Selekta Pendidikan A. Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari uraian materi pada bab ini, maka mahasiswa diharapkan dapat: 1. Mampu menjelaskan pengertian pendidikan dan budaya. 2. Mampu menjelaskan konsep budaya nasional sebagai dasar pendidikan. 3. Mampu mejelaskan keterkaitan antara pendidikan dan kebudayaan. 4. Mampu mendeskripsikan fungsi dan nilai-nilai budaya nasional sebagai dasar pendidikan. 5. Mampu mendeskripsikan implementasi budaya nasional sebagai dasar pendidikan. 6. Mampu menjelaskan implikasi masalah beserta solusi terkait budaya nasional sebagai dasar pendidikan.  B. Pendahuluan    Hanya manusialah yang memiliki budaya, kebudayaan bukan hanya membentuk pribadi seseorang tetapi juga dikembangkan oleh manusia itu sendiri. Dengan demikian jelaslah kiranya bahwa pendidikan tidak lain adalah proses pembudayaan. Artinya apabila pendidikan itu dilepaskan dari kebudayaan maka tujuan pe...