Pembelajaran IPS DI SD/MI
A. Pendahuluan
Proses Belajar Mengajar IPS di sekolah umumnya dianggap tidak menarik, akibatnya banyak anak-anak sekolah yang kurang tertarik untuk mendalami mata pelajaran IPS. Selain itu memang ada anggapan bahwa mata pelajaran IPS tidak begitu penting sehingga siswa dalam proses belajar mengajar tidak begitu serius dalam mengikutinya. Beberapa indikator yang menunjukan bahwa mata pelajaran IPS tidak menarik atau penting adalah nilai-nilai pelajaran IPS tidak begitu tinggi, serta program Ilmu Sosial di SMA dianggap sebagai program nomor dua setelah Ilmu Alam.
Hal tersebut di atas disebabkan adanya beberapa faktor. Faktor pertama adalah penempatan jam pelajaran IPS biasanya sebagai pelengkap, di siang hari ketika kondisi belajar siswa sudah menurun. Hal ini menunjukkan bahwa pihak sekolah (pembuat jadwal) menganggap bahwa pelajaran IPS tidak sepenting pelajaran Matematika, IPA dan Bahasa Indonesia. Dalam kondisi yang demikian baik siswa maupun guru sudah dalam kondisi kelelahan sehingga perhatian dan motivasinya pun sudah menurun.
Faktor kedua adalah performance guru IPS. Di SD/MI mata pelajaran IPS diampu oleh guru kelas atau kadang-kadang diampu oleh guru dengan latar belakang mata pelajaran lain. Bahkan tidak menutup kemungkinan satu guru selain mengampu mata pelajaran IPS juga mengampu mata pelajaran lainnya. Akibatnya kreatifitas dan kemampuan guru pun tidak maksimal. Guru-guru merasa kewalahan dalam mempersiapkan setiap mata pelajaran yang harus diampunya karena beban mengajar terlalu banyak.
Faktor ketiga adalah sajian materi dalam buku-buku IPS kurang memadai. Buku-buku IPS umumnya tebal-tebal dengan bahasa baku yang sulit dicerna oleh siswa. Apalagi dengan seringnya berganti kurikulum maka buku-buku pun sering berganti, Selain masalah materi, keberadaan buku juga berkaitan dengan harga yang selalu naik sehingga orang tua kurang mampu untuk membelinya. Dalam buku-buku IPS seringkali materinya terlalu berat dan sangat lengkap tidak sesuai dengan tingkat perkembangan kemampuan siswa, akibatnya siswa tidak mampu belajar mandiri.
Faktor keempat adalah faktor model pembelajaran dan dukungan media pembelajaran yang sesuai. Banyak guru IPS menyampaikan pembelajarannya hanya ceramah atau tanya jawab, atau bahwa mencatat buku di papan tulis. Model-model yang lebih bervariasi tidak dijalankan karena keterbatasan waktu, media pembelajaran, dan kemampuan guru untuk menerapkan variasi model pembelajaran (Velarasi, 2004: 7).
Berdasarkan Kurikulum 2006 atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pendidikan IPS, terlebih di jenjang pendidikan SD/MI dan SMP harus memberikan pengalaman langsung dan menggunakan lingkungan sekitar sebagai sumber dan media pembelajarannya. Oleh karena itu matei IPS di jenjang pendidikan SD/MI dimulai dari pengenalan lingkungan sekitar baik lingkungan fisik maupun lingkungan social yang diajarkan mulai kelas III. Seiring dengan meningkatnya jenjang kelas maka materi IPS semakin luas mengenal lingkungan di tingkat kabupaten, propinsi dan dunia. Ketika peserta didik duduk di kelas VI SD/MI maka materi pengenalan lingkungan dunia secara menyeluruh diberikan oleh guru.
Oleh karena itu untuk mempercepat pemahaman serta menghindarkan pemahaman yang keliru diperlukan pendekatan-pendekatan dan media-media pembelajaran yang tepat, sesuai dengan tingkat kematangan kejiwaan peserta didik. Pendekatan yang dianjurkan dalam kurikulum 2006 (KTSP) adalah pendekatan kontekstual atau yang lebih dikenal dengan istilah CTL (Contextual Teaching and Learning).
Pendekatan konstekstual merupakan konsep pembelajaran yang mengaitkan antara materi yang diajarkan di kelas dengan situasi dunia nyata di lingkungannya serta mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapana dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga/masyarakat (Anon, 2002: 43). Dengan CTL ini diharapkan proses pembelajaran lebih efektif dan menyenangkan serta mengurangi faktor-faktor negatif yang melemahkan proses pembelajaran.
Keberhasilan belajar siswa dipengaruhi oleh banyak faktor. Di antara faktor yang mempengaruhi proses belajar siswa adalah verbalisme, kekacauan makna, kegemaran berangan-angan, persepsi yang tidak tepat (Wibawa, 1993: 1). Verbalisme terjadi apabila guru dalam proses pembelajarannya terlalu banyak menggunakan kata-kata, terlebih bila kata-kata yang digunakan terasa asing bagi peserta didik yang akan berakibat salah tafsir atau kerancuan makna. Makna yang keliru tentang suatu konsep akan dibawa oleh peserta didik dalam waktu yang lama. Di sinilah peranan media pembelajaran, baik media sebagai suatu alat maupun media sebagai model pembelajaran untuk menjembatani kesenjangan antara alam pikiran peserta didik dengan alam kenyataan.
Media pembelajaran tidak hanya mencakup media elektronik melainkan bisa berupa media sederhana yang bisa disiapkan oleh guru. Salah satu media pembelajaran yang bisa digunakan adalah kartu belajar. Dengan menggunakan media yang tepat akan tercipta suasana belajar yang tenang dan menyenangkan (enjoyable learning) yang akan mendorong proses pembelajaran yang aktif, keratif, efektif dan bermakna. Dengan kondisi proses belajar yang demikian akan mampu menimbulkan kesadaran pada peserta didik untuk belajar mengetahui (learning to know), belajar berkarya (learning to do), belajar menjadi diri sendiri (learning to be) dan belajar untuk hidup bersama orang lain secara harmonis (learning to live together). Oleh karena itu setiap saat guru-guru SD harus selalu meningkatkan mutu pembelajaran (effective teaching) untuk semua mata pelajaran, termasuk pelajaran IPS Terpadu.
B. Hakikat Ilmu Pengetahuan Sosial
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan di SD secara Correlated atau saling berhubungan. Muhammad Numan Sumantri dalam Tasrif (2000: 1) IPS merupakan penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, idiologi negara, dan disiplin ilmu lainnya serta masalah-masalah sosial terkait yang diorganisasikan, disajikan secara ilmiah dan psikologis untuk tujuan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek cabang-cabang ilmu-ilmu social (sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya). IPS atau Studi Sosial merupakan bagian dari kurikulum sekolah yang di turunkan dari isi materi cabang-cabang ilmu sosial: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, antropologo, filsafat, dan psikologi sosial (Trianto, 2007: 124-125).
Pendidikan IPS merupakan padaan dari sosial studies dalam konteks kurikulum di Amerika Serikat. Istilah tersebut pertama kali digunakan di Amerika Serikat pada tahun 1913 mengadopsi nama lembaga sosial studies yang mengembangkan kurikulum di Amerika Serikat ( Mars, dalam Sholihatin 2005: 14). Pembelajaran IPS lebih menekankan aspek pendidikan dari pada transfer konsep, karena dalam pembelajaran pendidikan IPS siswa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilan berdasarkan konsep yang yang telah dimilikinya (Mrtorell dalam Sholihatin, 2005: 14). Mata pelajaran IPS di SD bertujuan agar siswa mampu mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dasar yang berguna bagi dirinya dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Nursid Sumaatmadja (dalam Sholihatin, 2005:16-15), Tujuan pendidikan IPS adalah membina anak didik menjadi warga negara yang baik, memeliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian sosial bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan negara. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, proses mengajar dan membelajarkannya, tidak hanya terbatas pada aspek-aspek pengetahuan (kognitif) dan keterampilan (psikomotor) saja, melainkan meliputi juga aspek akhlak (afektif) dalam menghayati serta menyadari kehidupan yang penuh dengan masalah, tantangan, hambatan dan persaingan ini. Melalui pendidikan IPS, anak dibina dan dikembangkan kemampuan mental–intelektualnya menjadi warga negara yang berketerampilan dan berkepedulian sosial serta bertanggung jawab sesuai dengan nilai–nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan hakikat IPS merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu-ilmu sosial yang dirumuskan atas dasar realitas dan fenomena sosial yang mewujudkan satu pendekatan interdisipliner dari aspek cabang-cabang ilmu-ilmu sosial yang bertujuan membina anak didik menjadi warga negara yang baik, memeliki pengetahuan, keterampilan dan kepedulian sosial bagi dirinya sendiri serta bagi masyarakat dan Negara.
C. Karakteristik Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Istilah pendidikann IPS dalam menyelenggarakan pendidikan di Indonesia masih relatif baru digunakan. Pendidikan IPS merupakan padanan dari sosial studies dalam konteks kurikulum di Amerika Serikat. Istilah tersebut pertama kali digunakan di AS pada tahun 1913 mengadopsi nama lembaga Sosial Studies yang mengembangkan kurikulum di AS (Marsh, 1980; Martoella, 1976). Kurikulum pendidikan IPS tahun 1994 sebagaimana yang dikatakan oleh Hamid Hasan (1990), merupakan fusi dari berbagai disiplin ilmu, Martoella (1987) mengatakan bahwa pembelajaran Pendidikan IPS lebih menekankan pada aspek “pendidikan” daripada “transfer konsep”, karena dalam pembelajaran pendidikan IPS mahasiswa diharapkan memperoleh pemahaman terhadap sejumlah konsep dan mengembangkan serta melatih sikap, nilai, moral, dan keterampilannya berdasarkan konsep yang telah dimilikinya. Dengan demikian, pembelajaran pendidikan IPS harus diformulasikannya pada aspek kependidikannya.
Ada 10 konsep social studies dari NCSS, yaitu (1) culture; (2) time, continuity and change; (3) people, places and environments; (4) individual development and identity; (5) individuals, group, and institutions; (6) power, authority and govermance; (7) production, distribution and consumption; (8) science, technology and society; (9) global connections, dan; (10) civic ideals and practices. (NCSS http://www.social studies.org/standard/exec.html). Sedangkan konsep IPS, yaitu: (1) interaksi, (2) saling ketergantungan, (3) kesinambungan dan perubahan, (4) keragaman/ kesamaan/perbedaan, (5) konflik dan konsesus, (6) pola (patron), (7) tempat, (8) kekuasaan (power), (9) nilai kepercayaan, (10) keadilan dan pemerataan, (11) kelangkaan (scarcity), (12) kekhususan, (13) budaya (culture), dan (14) nasionalisme.
Mengenai tujuan ilmu pengetahuan sosial (pensisikan IPS), para ahli sering mengaitkannya dengan berbagai sudut kepentingan dan penekanan dari program pendidikan tersebut, Gross (1978) menyebutkan bahwa tujuan pendidikan IPS adalah untuk memepersiapkan mahasiswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya di masyarakat, secara tegas ia mengatakan “to prepare students to be well functioning citizens in a democratic society”. Tujuan lain dari pendidikan IPS adalah untuk mengembangkan kemampuan mahasiswa menggunakan penalaran dalam mengambil keputusan setiap persoalan yang dihadapinya (Gross, 1978).
Ilmu pengetahuan sosial juga membahas hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Lingkungan masyarakat dimana anak didik tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari masyarakat, dihadapkan pada berbagai permasalahan yang ada dan terjadi di lingkungan sekitarnya. Pendidikan IPS berusaha membantu mahasiswa dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan menjadikannya semakin mengerti dan memahami lingkungan sosial masyarakatnya (Kosasih, 1994).
Pada dasarnya tujuan dari pendidikan IPS adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan, dan lingkungannya, serta berbagai bekal siswa untuk melanjtkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Berdasarkan pengertian dan tujuan dari pendidikan IPS, tampaknya dibutuhkan suatu pola pembelajaran yang mampu menjembatani tercapainya tujuan tersebut. Kemampuan dan keterampilan guru dalam memilih dan menggunakan berbagai model, metode dan strategi pembelajaran senantiasa terus ditingkatkan (Kosasih, 1994), agar pembelajaran Pendidikan IPS benar-benar mampu mengondisikan upaya pembekalan kemampuan dan keterampilan dasar bagi mahasiswa untuk menjadi manusia dan warga negara yang baik. Hal ini dikarenakan pengondisian iklim belajar merupakan aspek penting bagi tercapainya tujuan pendidikan (Azis Wahab, 1986).
Pola pembelajaran pendidikan IPS menekankan pada unsur pendidikan dan pembekalan pada mahasiswa. Penekanan pembelajarannya bukan sebatas pada upaya mencecoki atau menjejali mahasiswa dengan sejumlah konsep yang bersifat hafalan belaka, melainkan terletak pada upaya agar mereka mampu menjadikan apa yang tekag dipelajarinya sebagai bekal dalam memahami dan ikut serta dalam melakoni kehidupan masyarakat lingkungannya, serta sebagai bekal bagi dirinya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Di sinilah sebenarnya penekanan misi dari pendidikan IPS. Oleh karena itu, rancangan pembelajaran guru hendaknya diarahkab dan difokuskan sesuai dengan kondisi dan perkembangan potensi siswa agar pembelajaran yang dilakukan benar-benar berguna dan bermanfaat bagi siswa (Kosasih, 1994; Hamid Hasan, 1996).
Karakteristik mata pembelajaran IPS berbeda dengan disiplin ilmu lain yang bersifat monolitik. Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan integrasi dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, politik, hukum, dan budaya. Rumusan Ilmu Pengetahuan Sosial berdasarkan realitas dan fenomena sosial melalui pendekatan interdisipliner. Geografi, sejarah, dan antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran geografi memberikan kebulatan wawasan yang berkenaan dengan wilayah-wilayah, sedangkan sejarah memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilainilai, kepercayaan, struktur sosial, aktivitas-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekspresi dan spiritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu politik dan ekonomi tergolong ke dalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi dan psikologi sosial merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial. Secara intensif konsep-konsep seperti ini digunakan ilmu-ilmu sosial dan studi-studi sosial.
D. Tujuan Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pembelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).
a) memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan masyarakat.
b) mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
c) mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
d) menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
e) mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat. pengembangan keterampilan pembuatan keputusan.
f) memotivasi seseorang untuk bertindak berdasarkan moral.
g) fasilitator di dalam suatu lingkungan yang terbuka dan tidak bersifat menghakimi.
h) mempersiapkan siswa menjadi warga negara yang baik dalam kehidupannya “to prepare students to be well-functioning citizens in a democratic society’ dan mengembangkan kemampuan siswa mengunakan penalaran dalam mengambil keputusan pada setiap persoalan yang dihadapinya.
i) menekankan perasaan, emosi, dan derajat penerimaan atau penolakan siswa terhadap materi Pembelajaran IPS yang diberikan (Awan Mutakin, 1998).
Di samping itu juga bertujuan bagaimana sikap siswa terhadap pelajaran berupa: penerimaan, jawaban atau sambutan, penghargaan, pengorganisasian, karakteristik nilai, dan menceritakan.
E. Model Pembelajaran Terpadu dalam IPS
Pendekatan pembelajaran terpadu dalam IPS sering disebut dengan pendekatan interdisipliner. Model pembelajaran terpadu pada hakikatnya merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan peserta didik baik secara individual maupun kelompok aktif mencari, menggali, dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip secara holistik dan otentik (Depdikbud, 1996: 3). Salah satu di antaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari. Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu topik dari suatu cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Topik/tema dapat dikembangkan dari isu, peristiwa, dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan yang dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial, modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.
F. Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar
Dalam proses kegiatan belajar dan mengajar dibutuhkan aspek-aspek untuk mencapai tujuan intruksional dari suatu pembelajaran. Aspek-aspek tersebut adalah: 1) aspek tujuan intruksional, 2) aspek materi pengajaran, 3) aspek metode atau strategi belajar-mengajar, 4) aspek media intruksional, 5) aspek penilaian, 6) aspek penunjang fasilitas, waktu, tempat, perlengkapan, dan7) aspek ketenagaan.
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar diharapkan untuk membina generasi penerus (anak) agar dapat memahami potensi dan peran dirinya dalam berbagai tata kehidupannya, menghayati tuntunan keharusan dan pentingnya bermasyarakat dengan penuh kebersamaan dan kekeluargaan serta mahir berperan serta dilingkungannya sebagai insane sosial dan warga Negara yang baik.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diberikan mulai dari SD/MI/SDLB sampai SMP/MTs/SMPLB. IPS mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial. Pada jenjang SD/MI mata pelajaran IPS memuat materi Geografi, Sejarah, Sosiologi, dan Ekonomi. Melalui mata pelajaran IPS, peserta didik diarahkan untuk dapat menjadi warga negara Indonesia yang demokratis, dan bertanggung jawab, serta warga dunia yang cinta damai.
Pembelajaran IPS dirancang untuk mengembangkan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan analisis terhadap kondisi sosial masyarakat dalam memasuki kehidupan bermasyarakat yang dinamis untuk menghadapi tantangan berat karena kehidupan masyarakat global selalu mengalami perubahan setiap saat di masa yang akan datang yang akan dihadapi oleh peserta didik. Pembelajaran IPS disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat. Dengan pendekatan tersebut diharapkan peserta didik akan memperoleh pemahaman yang lebih luas dan mendalam pada bidang ilmu yang berkaitan (permndiknas No. 19 tahun 2005).
Pembelajaran IPS di Sekolah Dasar mengkaji seperangkat peristiwa, fakta, konsep, dan generalisasi yang berkaitan dengan isu sosial yang disusun secara sistematis, komprehensif, dan terpadu dalam proses pembelajaran menuju kedewasaan dan keberhasilan dalam kehidupan di masyarakat diharapkan untuk membina generasi penerus (anak) agar dapat memahami potensi dan peran dirinya dalam berbagai tata kehidupannya, menghayati tuntunan keharusan dan pentingnya bermasyarakat dengan penuh kebersamaan dan kekeluargaan serta mahir berperan serta dilingkungannya sebagai insan sosial dan warga Negara yang baik.
G. Komponen Strategi Pembelajaran IPS
Dick dan Carey (1985) mengatakan bahwa suatu strategi pembelajaran menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu set bahan pembelajaran dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa. Ia menyebutkan lima komponen umum dan strategi pembelajaran yaitu: (1) kegiatan pra-pembelajaran, (2) penyajian informasi, (3) partisipasi siswa, (4) tes, dan (5) tindak lanjut. Kelima komponen tersebut bukanlah satu-satunya rumusan strategi pembelajaran. Tiga komponen yang dibuat merupakan suatu bentuk rumusan strategi pembelajaran. Merril dan Tennyson (1977) menyebutnya sebagai urutan tertentu dari penyajian. Gagne dan Briggs (1979) menyebutnya sebagai 9 urutan kegiatan pembelajaran, yaitu: (1) memberikan motivasi atau menarik perhatian, (2) menjelaskan tujuan pembelajaran kepada siswa, (3) mengingatkan kompetensi prasyarat, (4) memberi stimulus (masalah, topik, konsep), (5) memberi petunjuk belajar (cara mempelajari), (6) menumbuhlkan penampilan siswa, (7) memberi umpan balik, (8) menilai penampilan, dan (9) menyimpulkan.
Briggs dan Wager (1981) mengungkapkan bahwa tidak semua pelajaran memerlukan seluruh 9 urutan kegiatan tersebut. Sebagian pelajaran hanya menggunakan beberapa di antara 9 urutan kegiatan tersebut, tergantung kepada karakteristik siswa dan jenis perilaku yang ada dalam tujuan pembelajaran. Pengurangan dari 9 urutan masih dimungkinkan sepanjang alasan secara rasionalnya jelas.
Tampaknya para ahli sepakat bahwa strategi pembelajaran berkaitan erat dengan pendekatan pembelajaran dalam mengelola kegiatan pembelajaran untuk menyampaikan materi atau isi pelajaran secara sistematik, sehingga standar kompetensi yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa secara efektif dan efisien. Strategi pembelajaran didalamnya terkandung 4 pengertian sebagai berikut: (a) urutan kegiatan pembelajaran, yaitu urutan kegiatan guru dalam menyampaikan isi pelajaran kepada siswa; (b) metode pembelajaran, yaitu cara guru mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa agar terjadi proses belajar secara efektif dan efisien; (c) media pembelajaran, yaitu peralatan dan bahan pembelajaran yang digunakan guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran; dan (d) waktu yang digunakan oleh guru dan siswa dalam menyelesaikan setiap langkah dalam kegiatan pembelajaran.
Strategi pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara mengorganisasikan materi pelajaran dan siswa, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran (kompetensi dasar) yang telah ditentukan. Strategi pembelajaran dapat pula disebut sebagai cara yang sistematis dalam mengkomunikasikan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai kompetensi dasar tertentu. Jadi strategi pembelajaran berkenaan dengan bagaimana (the how) menyampaikan isi pelajaran atau memberikan pengalaman belajar kepada siswa.
Dalam setiap pemilihan strategi pembelajaran, kita perlu mengajukan 2 (dua) pertanyaan sebagai berikut: (1) apakah strategi yang disusun itu didukung dengan teori-teori psikologi dan teori pembelajaran yang ada?, (2) apakah strategi yang disusun itu efektif dalam membuat siswa mencapai indikator hasil belajar?
Klasifikasikan strategi pembelajaran dapat ditinjau dari: (1) tujuan pembelajaran meliputi: (a) strategi pembelajaran kognitif, (b) strategi pembelajaran afektif, dan (c) strategi pembejaran psikomotorik; (2) letak kendali belajar pada siswa atau pada guru; (3) jenis materi yang dipelajari meliputi: (a) strategi pembelajaran fakta, (b) strategi pembelajaran konsep, (c) strategi pembelajaran prinsip, dan (d) strategi pembelajaran prosedur; (4) besar kecilnya kelompok belajar; (5) cara memperoleh pengetahuan induktif, deduktif, discovery dan inkuiri; (7) interaksi atau komunikasi; dan (8) hubungan atau jarak antara guru dan siswa apakah langsung atau tidak langsung. Namun jika strategi pembelajaran dimaknai sebagai urutan atau tahapan pembelajaran, maka komponen-komponennya meliputi komponen utama yang pertama, yaitu urutan kegiatan pembelajaran mengandung beberapa komponen, yaitu pendahuluan, penyajian, dan penutup.
Komponen pendahuluan terdiri atas 3 (tiga) langkah sebagai berikut: (1) penjelasannya singkat tentang isi pelajaran, (2) penjelasan relevansi isi pelajaran baru dengan pengalaman siswa, dan (3) penjelasan tentang kompetensi dasar. Komponen penyajian juga terdiri atas 3 langkah yaitu: (1) uraian, (2) contoh, dan (3) latihan. Komponen penutup terdiri atas 2 langkah sebagai berikut: (1) tes formatif dan non tes serta umpan balik, dan (2) tindak lanjut. Kegiatan awal tersebut dimaksudkan untuk mempersiapkan siswa agar secara mental siap mempelajari pengetahuan, keterampilan dan sikap baru.
Seorang guru hendaknya bersedia menggunakan waktunya sejenak untuk ikut bersama mereka membawa pembicaraan tersebut kepada topik pelajaran hari itu. Di samping itu, akan berusaha menumbuhkan motivasi siswa untuk mempelajari materi pelajaran baru, sebelum ia mengajarkannya dengan cara menjelaskan apa manfaat materi itu disampaikan.
H. Model Pelaksanaan Pembelajaran IPS
1. Kegiatan Pendahuluan
Kegiatan pendahuluan (introduction) pada dasarnya merupakan kegiatan awal yang harus ditempuh guru dan peserta didik pada setiap kali pelaksanaan pembelajaran. Fungsinya terutama untuk menciptakan suasana awal pembelajaran yang efektif yang memungkinkan peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran dengan baik. Efisiensi waktu dalam kegiatan pendahuluan pembelajaran ini perlu diperhatikan, karena waktu yang tersedia untuk kegiatan tersebut relatif singkat, berkisar antara 5-10 menit. Dengan waktu yang relatif singkat tersebut diharapkan guru dapat menciptakan kondisi awal pembelajaran dengan baik, sehingga dalam kegiatan inti pembelajaran peserta didik sudah siap untuk mengikuti pelajaran dengan seksama.
Kegiatan utama yang dilaksanakan dalam pendahuluan pembelajaran ini di antaranya untuk menciptakan kondisi-kondisi awal pembelajaran yang kondusif, melaksanakan kegiatan apersepsi (apperception), dan penilaian awal (pre-test). Penciptaan kondisi awal pembelajaran dilakukan dengan cara: mengecek atau memeriksa kehadiran peserta didik (presence, attendance), menumbuhkan kesiapan belajar peserta didik (readiness), menciptakan suasana belajar yang demokratis, membangkitkan motivasi belajar peserta didik, dan membangkitkan perhatian peserta didik. Melaksanakan apersepsi (apperception) dilakukan dengan cara: mengajukan pertanyaan tentang bahan pelajaran yang sudah dipelajari sebelumnya dan memberikan komentar terhadap jawaban peserta didik, dilanjutkan dengan mengulas materi pelajaran yang akan dibahas.
Melaksanakan penilaian awal dapat dilakukan dengan cara lisan atau tulisan berupa kuis singkat pada beberapa peserta didik yang dianggap mewakili seluruh peserta didik, bisa juga penilaian awal ini dalam prosesnya diintegrasikan melalui apersepsi.
2. Kegiatan Inti
Kegiatan inti merupakan kegiatan dalam rangka pelaksanaan pembelajaran yang menekankan pada proses pembentukan pengalaman belajar peserta didik (learning experiences). Pengalaman belajar tersebut bisa dalam bentuk kegiatan tatap muka di kelas atau di luar kelas dan kegiatan nontatap muka. Pengalaman belajar tatap muka dimaksudkan sebagai kegiatan pembelajaran yang dilakukan dengan mengembangkan bentuk-bentuk interaksi langsung antara guru dengan peserta didik, sedangkan pengalaman belajar nontatap muka dimaksudkan sebagai kegiatan belajar yang dilakukan peserta didik dalam berinteraksi dengan sumber belajar lain yang bukan kegiatan interaksi langsung guru-peserta didik.
Kegiatan inti dalam pembelajaran bersifat situasional, dalam arti perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi tempat proses pembelajaran itu berlangsung. Terdapat beberapa kegiatan yang dapat dilakukan dalam kegiatan inti pembelajaran. Kegiatan paling awal yang perlu dilakukan guru adalah memberitahukan Kompetensi Dasar yang harus dicapai oleh peserta didik beserta garis-garis besar materi/bahan pembelajaran yang akan dipelajari. Hal ini perlu dilakukan agar peserta didik mengetahui sejak awal kemampuan-kemampuanapa saja yang akan diperolehnya setelah proses pembelajaran berakhir.
Cara yang cukup praktis untuk memberitahukann kompetensi tersebut kepada peserta didik bisa dilakukan dengan cara tertulis atau lisan, atau kedua-duanya. Guru menuliskan kompetensi tersebut di papan tulis dilanjutkan dengan penjelasan secara lisan mengenai pentingnya kompetensi tersebut dikuasai peserta didik.
Kegiatan lainnya di awal kegiatan inti pembelajaran terpadu yaitu menjelaskan alternatif kegiatan belajar yang akan dialami peserta didik. Dalam tahapan ini guru perlu menyampaikan kepada peserta didik tentang kegiatankegiatan belajar yang harus ditempuh peserta didik dalam mempelajari tema/ topik, atau materi pembelajaran PKn atau IPS terpadu. Kegiatan belajar yang ditempuh peserta didik dalam pembelajaran IPS terpadu lebih diutamakan pada terjadinya proses belajar yang berkadar aktivitas tinggi. Pembelajaran berorientasi pada aktivitas peserta didik, sedangkan guru lebih banyak bertindak sebagai fasilitator yang memberikan kemudahan-kemudahan kepada peserta didik untuk belajar. Peserta didik diarahkan untuk mencari dan menemukan sendiri apa yang dipelajarinya, sehingga prinsip-prinsip belajar dalam teori konstruktivisme dan teori Kolb dapat diterapkan.
Dalam menyajikan materi/bahan pembelajaran harus diarahkan pada suatu proses perubahan pengetahuan, sikap, nilai, dan perilaku peserta didik. Mengingat PKn dan IPS syarat dengan nilai maka strategi yang tepat digunakan adalah membangkitkan rasa, karsa dan karya yang dapat membentuk kepribadian, karakter dan jati diri sebagai manusia. Penyajian bahan pembelajaran harus dilakukan secara terpadu melalui penghubungan konsep dari mata pelajaran satu dengan konsep mata pelajaran lainnya. Dalam hal ini, guru harus berupaya menyajikan bahan pelajaran dengan strategi mengajar yang bervariasi, yang mendorong peserta didik pada upaya penemuan pengetahuan baru. Kegiatan pembelajaran bisa dilakukan melalui kegiatan pembelajaran secara klasikal, kelompok, dan perorangan.
3. Kegiatan Penutup dan Tindak Lanjut
Kegiatan akhir dalam pembelajaran terpadu tidak hanya diartikan sebagai kegiatan untuk menutup pelajaran, tetapi juga sebagai kegiatan penilaian hasil belajar peserta didik dan kegiatan tindak lanjut. Kegiatan tindak lanjut harus ditempuh berdasarkan pada proses dan hasil belajar peserta didik. Waktu yang tersedia untuk kegiatan ini relatif singkat, oleh karena itu guru perlu mengatur dan memanfaatkan waktu seefisien mungkin. Secara umum kegiatan akhir dan tindak lanjut dalam pembelajaran terpadu di antaranya:
a) Melaksanakan dan mengkaji penilaian akhir.
b) Melaksanakan tindak lanjut pembelajaran melalui kegiatan pemberian tugas atau latihan yang harus dikerjakan di rumah, menjelaskan kembali bahan pelajaran yang dianggap sulit oleh peserta didik, membaca materi pelajaran tertentu, dan memberikan motivasi atau bimbingan belajar.
c) Mengemukakan topik yang akan dibahas pada waktu yang akan datang, dan menutup kegiatan pembelajaran.
4. Penilaian
Objek dalam penilaian pembelajaran terpadu mencakup penilaian terhadap proses dan hasil belajar peserta didik. Penilaian proses belajar adalah upaya pemberian nilai terhadap kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleh guru dan peserta didik, sedangkan penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang dicapai dengan menggunakan kriteria tertentu. Hasil belajar tersebut pada hakikatnya merupakan pencapaian kompetensi-kompetensi yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang diwujudkan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Kompetensi tersebut dapat dikenali melalui sejumlah hasil belajar dan indikatornya yang dapat diukur dan diamati. Penilaian proses dan hasil belajar itu saling berkaitan satu dengan lainnya, hasil belajar merupakan akibat dari suatu proses belajar.
I. Faktor Penting dalam Implementasi Strategi Pembelajaran PKn dan IPS
1. Taksonomi Kecerdasan
Perkembangan taksonomi kecerdasan dapat digambarkan bahwa kecerdasan atau inteligensi bukanlah bersifat kebendaan, melainkan suatu kondisi mental psikologis yang menggambarkan kemampuan intelektual individu. Ada berbagai pengertian mengenai inteligensi, di antaranya C.P. Chaplin (1975) yang mengartikan inteligensi sebagai kemampuan menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap situasi baru secara cepat dan efektif. Pengertian lain dikemukakan oleh Woolfolk (1995), bahwa inteligensi memiliki 3 pengertian, yaitu: (1) kemampuan untuk belajar, (2) keseluruhan pengetahuan yang diperoleh, dan (3) kemampuan untuk melakukan adaptasi secara berhasil dengan situasi baru atau lingkungan pada umumnya.
Selanjutnya Binet dalam Suryabrata, 1984, menyatakan bahwa hakikat inteligensi ada 3 macam, yaitu: (1) kecerdasan untuk menetapkan dan mempertahankan tujuan, (2) kemampuan untuk melakukan penyesuaian dalam rangka mencapai tujuan, dan (3) kemampuan untuk melakukan otokritik, kemampuan untuk belajar dari kesalahan yang telah dibuatnya.
Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh 3 ahli tersebut dapat disimpulkan, bahwa inteligensi atau kecerdasan adalah kemampuan individu yang berkaitan dengan pengetahuan, kemampuan dalam menentukan tujuan, mencapai dan memperbaikinya, serta beradaptasi dengan situasi baru dan lingkungannya.
Karena inteligensi berkait dengan pengetahuan, maka kecerdasan individu sangat bergantung pada informasi atau pengetahuan yang diperolehnya. Disinilah pentingnya pendidikan dalam meningkatkan inteligensi individu. Dalam kaitan ini, maka para guru harus memahami benar hakikat inteligensi, terutama yang berkait dengan struktur inteligensi manusia. Sehingga guru sebagai pendidik mampu mengembangkan inteligensi para peserta didik secara optimal. Untuk itu, kita perlu memahami teori inteligensi yang berkembang. Pada awalnya teori inteligensi dikemukakan oleh Spearman pada tahun 1904 (Semiawan, 1997; Yusuf, 2004) yang memandang inteligensi sebagai kemampuan yang terdiri atas dua faktor, yaitu: (1) kemampuan umum (general faktors), dan (2) kemampuan khusus (specific faktors). Kemudian berkembang teori baru yang dikemukakan oleh Thurstone pada tahun 1938 (Semiawan, 1997; Yusuf, 2004) dengan teorinya Multiple Faktors. Thurstone menyatakan bahwa inteligensi merupakan penjelmaan dari kemampuan primer yang terdiri atas: (1) kemampuan berbahasa: verbal comprehension, (2) kemampuan mengingat: memory, (3) kemampuan nalar atau berpikir logis: reasoning, (4) kemampuan ruang: spatial, (5) kemampuan menggunakan kata-kata: word fluency, dan (6) kemampuan menanggapi dengan cepat: perceptual speed.
Perluasan teori multiple faktors secara komprehensif dilakukan oleh JP Guilford (Semiawan, 1997) pada 1982 dengan teorinya “struktur intelek”. Guilford menyatakan bahwa struktur kemampuan intelek dapat dilihat dari tiga parameter atau yang disebut faces of intellect, yaitu: (1) operasi mental: proses berpikir, (2) konten: isi yang dipikirkan, dan (3) produk: hasil berpikir.
Dari ketiga parameter yang masing-masing terdiri atas beberapa unsur diperoleh struktur kemampuan intelek manusia yang berjumlah 120 kemampuan dan kemudian bertambah menjadi 150 kemampuan, setelah memisahkan konten figural dari dimensi auditoris.
Dalam perkembangannya, kini muncul teori mutakhir tentang inteligensi yang disebut Multiple Intelligence. Teori ini dikemukakan oleh Howard Gardner (Semiawan, 1999; Yusuf, 2004) yang menyatakan bahwa inteligensi manusia memiliki dimensi yang banyak. Pada awalnya ada tujuh dimensi, kemudian bertambah menjadi delapan dan kini bertambah lagi menjadi 10. Tujuh dimensi yang dimaksud pada awalnya adalah: (1) logical-mathematical, (2) linguistic, (3) musical, (4) spatial, (5) bodily kinesthetic, (6) interpersonal, dan (7) intrapersonal. Tambahannya adalah (8) natural, dan kemudian bertambah dua lagi, yaitu: (9) spiritual, (10) eksistensial. Untuk memperjelas kemampuan apa saja yang tercakup dalam teori inteligensi ganda yang dikemukakan Gardner di bawah ini disajikan tabel penjelasannya.
2. Dimensi Inteligensi Kemampuan Utama
Logical-Mathematical Kepekaan dan kemampuan untuk mengamati pola-pola logis dan numerik (bilangan) serta kemampuan untuk berpikir rasional/ logis Linguistic Kepekaan terhadap suara, ritme, makna kata-kata, dan keragaman fungsi-fungsi bahasa. Musical Kemampuan untuk menghasilkan dan mengapresiasikan ritme, nada, dan bentuk-bentuk ekspresi musik. Spatial Kemampuan mempersepsi dunia visual-ruang secara akurat dan melakukan transformasi persepsi tersebut Bodily Kinesthetic Kemampuan mengontrol gerakan tubuh dan menangani objek-objek secara terampil. Interpersonal Kemampuan untuk mengamati dan merespon suasana hati, temperamen dan motivasi orang lain. Intrapersonal Kemampuan menganalisis dan refleksi diri, untuk memahami perasaan, kekuatan, dan kelemahan sendiri. Natural Kemampuan mengenal kembali flora dan fauna, dan mencintai alam. Spiritual Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan Tuhan. Eksistensial Kemampuan untuk menyadari dan menghayati keberadaan dirinya di dunia dan tujuan hidupnya.
3. Multiple Intelegences
Dalam membentuk karakter dan rara kebangsaan kepada anak didik dalam hal ini adalah siswa TK, SD, SMP dan SMA serta SMK adalah menjadi tugas pendidik dan sebagai hasil dari proses panjang dan terus menerus dari pembelajaran PKn dan IPS yang meliputi : mental dan moral yang meliputi: budi pekerti, disiplin, dan demokratis dan aspek intelektual yang meliputi: keterampilan berpikir logis, luwes, orisinil, elaborasi, dan memperluas wawasan, profesionalisme, serta kreativitas. Hal ini baru bisa diraih tatkala guru dalam menerapkan pembelajaran di kelas menggunakan strategi pembelajaran yang dapat mendukung dan memotivasi terbentuknya Multiple Intelegensi siswa.
Howard Gardner adalah seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan di Graduate School of Education, Harvard University, Amerika Serikat. Ia menulis gagasannya tentang Multiple Inteligences dalam bukunya Framers of Mind (1983) dan pada tahun 1993 mempublikasikan bukunya berjudul Multiple Inteligences. Menurut nya bahwa Inteligence sebagai kemampuan untuk memecahkan persoalan dan menghasilkan produk dalam suatu setting yang bermacam-macam dan dalam situasi yang nyata. Intelegensi seseorang bukan hanya diukur dengan tes tertulis, melainkan lebih tepat diukur melalui cara bagaimana orang itu memecahkan persoalan dalam kehidupan yang nyata. Intelegensi seseorang dapat dikembangkankan melalui pendidikan dan intelegensi jumlahnya banyak.
Multiple Intelegences meliputi: (1) kecerdasan bahasa adalah kapasitas menggunakan bahasa secara lisan dan tulisan secara efektif. Kemampuan mengolah kata-kata secara efektif yakni berbahasa lancar, baik dan lengkap. Contoh: Siswa dilatih menggunakan tata bahasa dan kosa kata yang tepat dalam berdiskusi membahas topik terkait dengan kompetensi dasar misalnya perlindungan hukum bagi kaum perempuan; (2) kecerdasan logika matematika adalah kemampuan menggunakan bilangan dan logika secara efektif orang yang kemampuan nya tinggi akan sangat mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi dalampemikiran dan cara mereka bekerja. Dalam menghadapi persoalan dia tidak mudah bingung karena ia bisa memilah-milahkannya, mana yang pokok dan mana yang tidak, dan kuat dalam berpikir abstrak dan berfilsafat; (3) kecerdasan keruangan adalah kemampuan mengenali, mengetahui, dan mentranformasikan ide keruangan dan visual ke dalam persepsi secara tepat.
Kemampuan untuk mengenal bentuk dan benda secara tepat, melakukan perubahan suatu benda dalam pikirannya dan mengenali perubahan itu dalam bentuk nyata; serta mengungkapkan data dalam bentuk grafik. Dia juga peka terhadap keseimbangan, relasi, warna, garis, bentuk, dan ruang; (4) kecerdasan kinestetik (Bodily Kinestetic Intelligence) adalah kemampuan untuk menggunakan seluruh tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresikan ide-ide atau gagasan dan perasaan-perasaan dalam memproduksi karya termasuk koordinasi keseimbangan, kekuatan, kelenturan, kecepatan, ketangkasan serta kemampuan menerima rangsang; (5) kecerdasan musik (Musical Intelligence) adalah kemampuan untuk mengembangkan, mengekspresikan, dan menikmati bentuk-bentuk musik dan suara. Di dalamnya kepekaan akan ritme, melodi, dan intonasi. Di samping itu juga meliputi kemampuan memainkn alat musik, kemampuan menyanyi, mencipta lagu dan menikmatinya. Juga mencakup kemampuan merasakan, membedakan, membentuk dan mengekspresikan musik dan nyanyian. Contoh: siswa ditugasi untuk mengekspresikan perasaannya melalui lagu dan puisi yang terkait dengan masalah sosial, kenegaraan dan kehidupan sehari-hari; (6) kecerdasan interpersonal adalah kemampuan untuk mengerti dan menjadi peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, dan temperamen orang lain. Kepekaan akan ekspresi wajah, suara dan gerak tubuh orang lain (isyarat), dan kemampuan seseorang untuk menjalin relasi dan kamunikasi dengan berbagai orang. Contoh siswa dilatih berorasi ilmiah atau berdiplomasi dalam berkomunikasi; (7) kecerdasan intra personal adalah kemampuan memahami diri dan bertindak adaptif berdasarkan pengetahuan tentang diri. Kemampuan berefleksi dan keseimbangan diri, kesadaran diri tinggi, inisiatif, dan berani. Contoh toleransi antar umat beragama; (8) intelegensi lingkungan adalah kemampuan seseorang untuk dapat mengerti flora dan fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain dalam alam natural, serta kemampuan untuk memahami dan menikmati alam. Contoh siswa diajak berkarya wisata menikmati keadaan dan keindahan alam yang dekat lokasinya dengan tempat tinggal mereka, selanjutnya ditugasi pada siswa untuk menceritakan pengalamannya; dan (9) inteligensi eksistensial adalah menyangkut kepekaan dan kemampuan seseorang untuk menjawab persoalanpersoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas hanya menerima keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu antara lain, mengapa aku ada, apa makna dari hidup ini, bagaimana kita sampai ke tujuan hidup. Contoh: Guru dapat menceritakan betapa pentingnya tujuan hidup pribadi yang mengacu pada tujuan hidup beragama, bermasyarakat, dan bernegara.
Berdasarkan uraian di atas maka tantangan bagi guru dalam pembelajaran adalah bagaimana menyajikan materi pembelajaran dalam mencapai kompetensi yang komprehenship dengan tercapainya multiple intelegensi. Sementara tantangan bagi pengawas bagaimana melakukan bimbingan dan supervisi akademik pada guru-guru PKn dan IPS agar mengorientasikan pembelajarannya pada pencapaian kompetensi menyeluruh baik dalam proses pembelajarannya maupun hasil akhir.
Salah satu di antaranya adalah memadukan Kompetensi Dasar. Melalui pembelajaran terpadu peserta didik dapat memperoleh pengalaman langsung, sehingga dapat menambah kekuatan untuk menerima, menyimpan, dan memproduksi kesan-kesan tentang hal-hal yang dipelajarinya. Dengan demikian, peserta didik terlatih untuk dapat menemukan sendiri berbagai konsep yang dipelajari. Pada pendekatan pembelajaran terpadu, program pembelajaran disusun dari berbagai cabang ilmu dalam rumpun ilmu sosial. Pengembangan pembelajaran terpadu, dalam hal ini, dapat mengambil suatu topik dari suatu cabang ilmu tertentu, kemudian dilengkapi, dibahas, diperluas, dan diperdalam dengan cabang-cabang ilmu yang lain. Topik/tema dapat dikembangkan dari isu, peristiwa, dan permasalahan yang berkembang. Bisa membentuk permasalahan yang dapat dilihat dan dipecahkan dari berbagai disiplin atau sudut pandang, contohnya banjir, pemukiman kumuh, potensi pariwisata, IPTEK, mobilitas sosial, modernisasi, revolusi yang dibahas dari berbagai disiplin ilmu-ilmu sosial.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Gafur. 1986. Disain Instruksional: Langkah Sistematis Penyusunan Pola Dasar Kegiatan Belajar Mengajar. Sala: Tiga Serangkai.
Abdul Gafur. 1987. Pengaruh Strategi Urutan Penyampaian, Umpan Balik, dan Keterampilan Intelektual Terhadap Hasil Belajar Konsep. Jakarta: PAU – UT.
Aqib, Zainal. 2006. Penelitian Tindakan Kelas. Bandung: Yrama Widya
Arends, Richard I. 1997. Classroom Instruction and Management. New York: Mac Millan Publishing.
Aristo Rahadi. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta: Depdiknas.
Bloom et al. 1956. Taxonomy of Educational Objectives: the Classification of Educational goals. New York: McKay.
Center for Civics Education. 1997. National Standars for Civics and Governement. Calabasas CA: CEC Publ.
Depdiknas. 2004. Kurikulum 2004. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas.
Depdiknas. 2006. Standar Kompetensi Mata Pelajaran IPS Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbang, Depdiknas.
Dick, W. & Carey L. 1978. The Systematic Desgin of Instruction. Illinois: Scott & Co. Publication.
Dimyati dan Mudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta
Direktorat Pendidikan Menengah Umum. 2001. Kebijakan Pendidikan Menengah Umum. Jakarta: Direktorat Pendidikan Menengah Umum.
Edwards, H. Cliford, et.al. 1988. Planning, Teaching, and Evaluating: A Competency Approach. Chicago: Nelson-Hall.
Fajar, Malik. 2004. “ Pendidikan Kewarganegaraan Menuju Nation and Character Bulding”, Semiloka Nasional tentang Revitalisasi Nasionalisme Indonesia Menuju Character and Nation Building, tanggal 18 Mei 2004.
Freire, Paulo. 1978. Paedagogy of The Oppresed. Middlesex Penguin Books Limited
Gaffar, Afan. 2002. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gronlund, Norman E. 1984. Determining Accountabilty for Classroom Instruction. New York: Macmillan Publishing Company.
Hall, Gene E & Jones, H.L. 1976. Competency-Based Education: A process for the improvement of education. New Jersey: Englewood Cliffs, Inc.
Hamalik, Oemar. 2005. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Hamalik, Umar. 1984. Media Pendidikan. Bandung. Citra Aditya Bhakti
Hasan, S. Hamid. 1996. Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial (buku I). Bandung: Jurusan Sejarah FIPS IKIP Bandung.
Irawan Sadad Sadiman. 2008. Ilmu pegetahuan sosial 4: SD/MI kelas IV. Jakarta: Pusat Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.
Joice, B, & Weil, M. 1980. Models of Teaching. New Jersey: Englewood Cliffs, Publ.
Kasmadi, Hartono. 2001. Pengembangan Pembelajaran Dengan Pendekatan Model-Model Pengajaran Sejarah. Semarang. PT. Prima Nugraha Pratama
Kaufman, Roger A. 1992. Educational Systems Planning. New Jersey: Englewood Cliffs.
Kemp, Jerold. 1977. Instructional Design: A Plan for Unit and Curriculum Development. New Jersey: Sage Publication.
Legawa, I Wayan. 2004. Implementasi Kurikulum 1994 (Harapan dan Kenyataan) Makalah Workshop di UNNES Semarang, 8 Desember 2004.
Leirissa, J. 1995. Alat Peraga dan Visualisasi Pelajaran Sejarah. Makalah. Jakarta. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisonal Depdikbud.
Lestari, Endang, G, SH, MM. 2003. Komunikasi Yang Efektif. Jakarta. Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia
Lie, Anita. 2004. Kooperatif( Mempraktekan Kooperatifdi Ruang–uang Kelas). Jakarta : Grasindo
Marzano RJ & Kendal JS. 1996. Designing standard-based districs, schools, and classrooms. Vriginia: Assiciation for Supervision and Curriculum Development.
McAshan, H.H. 1989. Competency-Based Education and Behavioral Objectives. New Jersey: Educational Technology Publications, Engelwood Cliffs.
Muslich, Mansur. 2007. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontektual. Malang: Bumi Aksara.
Muyasa. 2008. Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara.
Nadiroh dan Etin Solihatin. 1998. Ilmu Politik, Kenegaraan dan Hukum dalam PIPS, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan DirektoratJenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP D-III.
Natawidjaja, Rohman, Drs. 1985. Pengajaran Remidial. Jakarta. Depdikbud
Natawijaya, Rochman. 1984. Pengajaran Remidial. Jakarta: Depdikbud
Oneil Jr., Harold F. 1989. Procedures for Instructional Systems Development. New York: Academic Press.
Prayitno, Elida. 1989. Motivasi Dalam Belajar. Jakarta. Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Depdikbud
Purwanto, Ngalim. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Pusat Kurikulum. 2002. Penilaian Berbasis Kelas dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Balitbang Depdiknas.
Rahadi, Aristo. 2003. Media Pembelajaran. Jakarta : Depdiknas.
Reigeluth, Charles M. 1987. Instructional Theories in Action: Lessons Illustrating Selected Theories and Models. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publ.
Rosyada, Dede. 2003. Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, Jakarta : Prenada Media dan TIM ICCE UIN Jakarta.
Rowntrie, Derek. 1982. Fungsi Media. Jakarta.________
Russell, James D. 1984. Modular Instruction: A Guide to Design, Selection, Utilization and Evaluation of Modular Materials. Minneapolis: Burgess Publishing Company.
Slavin, Robert E. 2008. KooperatifToeri, Riset dan Praktik. Bandung: Nusamed Studio.
Soedijarto. 2004. “Kurikulum dan Sistem Evaluasi Pendidikan Sebagai Unsur Strattegis dalam Penyelenggaraan Sistem Pembelajaran Nasional”, Diskusi Panel Rakernas ISPI, tanggal 21 Januari 2004.
Solihatin, Etin. 2008. KooperatifAnalisa Model Pembelajaran IPS. Jakarta: Bumi Aksara.
Sudjana Nana, Rivai Ahmad. 2005. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Sudjana Nana. 2004. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Sulistyorini, Sri. 2007. Model Pembelajaran IPA Sekolah Dasar. Semarang: Tiara Wacana.
Sumantri Mulyani, Permana Johar. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung: CV. Maulana
Sumantri, Muhammad Numan. 2001. Masalah Pendidikan IPS Dalam Perspektif Global. Makalah Seminar Nasional. Semarang. FIS UNNES
Sunaryo, Teguh, Drs. 2003. Obsesi Orang Tua Terhadap Anaknya. Yogyakarta. Lembaga Pendidikan Primagama
Suprayekti. 2003. Interaksi Belajar Mengajar. Jakarta : Depdiknas.
Tasrif.2008. Pengantar Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial. Yogyakarta: Genta Press
Trianto. 2007. Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Udimansyah, Dasim. 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio. Bandung: Penerbit PT Genesindo.
Umaedi. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Jakarta: Depdiknas.
Undang- undang RI No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Usman, Moh. Uzer, Drs. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya
Velarasi, Aldila Dhika. 2004. Aku dan Pelajaran Sejarah Diskusi Pendidikan Sejarah di Era Pembangunan. Yogyakarta. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Vernon, Gerlach S, Ely, Donald P. 1980. Teaching and Media. London. Prentice Hall International Inc
Wibawa, Basuki, Farida Mukti. 1992/1993. Media Pengajaran. Jakarta. Dirjen Dikti Proyek Peningkatan Tenaga Kependidikan Depdikbud
Winataputra, Udin S. 2004. “Pendidikan Kewarganegaraan sebagai wahana Pendidikan Demokrasi Konstitusional RI”, Semiloka Nasional tentang Revitalisasi Nasionalisme IIndonesia Menuju Character and Nation Building, tanggal 18 Mei 2004.
isnainiayh02.blogspot.com
Komentar
Posting Komentar